Maafkan Aku yang tak Berani Menikahimu
Oleh : Pak Guru Top

Yap…!Aku mencoba bangkit dari tempat tidur walau kantukku terus merayu. Maklumlah hari ini hari Minggu. Sangat tepat untuk bermalas-malasan dan memanjakan badan karena aku tidak masuk kerja. Semalaman aku begadang baru habis subuh tadi kupejamkan mataku. Aku harus bangun. Tidak boleh malas-malasan. Karena, hari ini aku berencana mencari  rumah Ana, gadis cantik yang tidak mau aku ajak kenalan tiga malam yang lalu di sebuah acara kemah Bakti Pramuka di Gua Pancur Kayen. Aku ingin menaklukkan keras hatinya. Aku akan buat dia jatuh cinta.
Malam itu, Ana menolak uluran tanganku saat aku ajak kenalan. Gadis yang memiliki rambut panjang ini mempermalukanku di depan banyak orang. Penolakan Ana membuat aku sakit hati. Aku kepingin tau kehidupannya. Karena kesombonganya, atau karena dia betul-betul tau syariat agama yang tidak memperbolehkan antara laki-laki dan perempuan berjabatan tangan. Atau, karena dia tidak suka melihat mukaku.
Beruntung, waktu itu ada Rini. Aku suruh Rini berkenalan dengan Ana. Dari Rini, aku peroleh keterangan lengkap tentang Ana. Namanya, rumahnya, pendidikannya dan lain-lain. Pokoknya komlit-plit, kayak jamu Komplit Sido Muncul. Nama lengkapnya adalah Stivana Dwi Pramaswari.Sebuah nama yang indah. Nama yang mampu meluluhkan hatiku. Nama yang mampu menggetarkan jantungku. Nama yang membuat aku rak iso turu. Hanya lewat pandangan pertama dibuat aku tergila-gila. Aku betul-betul jatuh cinta.
Hanya butuh waktu 60 menit, aku sudah sampai di desa Ana.Sudah dua rumah yang aku datangi karena di sini terdapat 3 nama Ana yang sama, sedang warga sini tidak tau nama lengkap masing-masing. Mereka hanya kenal sebutan Ana saja. Ya, terpaksa aku harus mendatangi rumah Ana ketiga-tiganya. Ana yang pertama seorang ibu muda yang wajahnya lumayan cantik. Kalau dilihat dari wajahnya dan bentuk tubuhnya dulu dia adalah seorang wanita yang cantik. Karena ekonomi pas-pasan dia berubah.
Ana yang kedua anak kepala desa. Aku sempat ragu untuk ke rumahnya. Lihat rumahnya saja aku sudah keder. Ditambah lagi mobil yang berjejer di depan rumahnya. Ana anak kepala desa ini, memang masih gadis wajahnya cantik. Maklumlah anak kepala desa. Kalau dibandingkan dengan Ana yang aku cari cantikan ini.Tapi, banyak cantikan Ana yang aku suka, ha...ha...ha...ha. Bercanda. Kalau diliat sekilas wajahnya seperti Nafa Urbah waktu masih muda. Wajahnya, bodinya, eeem... Bikin Hengky temanku tidak bisa bicara di hadapannya. Hengki terbelalak  melihat kecantikannya. Maklumlah dia anak seorang kepala desa, anak orang kaya dan bunga desa. Aku dibuat keringatan saat mau nyamperin rumahnya. Kini tinggal satu rumah lagi pencarianku akan berakhir.
Aku coba memantapkan niat dan menata hati bertemu Ana. Walau ada keraguan ketakutan dan kegundahan dalam hati, aku singkirkan. Aku akan terima apa yang terjadi. Aku kan siap kalau Ana marah kepadaku. Aku juga siap kalau dia tidak menemuiku. Aku juga siap kalau dia nanti mengusirku. Hari ini, aku harus tau rumahnya dan berkenalan dengannya. Aku ingin tahu hatinya. Kalau dia menolak, paling tidak aku sudah bisa memandang wajahnya dan tau rumahnya.
Aku dan Hengky mencoba mendatangi rumah yang telah dijelaskan orang yang aku tanya tadi. Ciri-ciri yang dijelaskan sama persis dengan rumah yang ada di depanku. Rumahnya agak  ke dalam. Depannya, halamannya luas. Bentuk rumah itu Limasan, bercat dinding berwarna hijau. Teras rumahnya banyak sangkar burung. Degub jantungku semakin keras setelah aku menginjakkan kakiku di teras rumah Ana. Antara takut dan berani, antara maju dan mundur campur aduk jadi satu.
Assalamualaikum!” walau dengan hati yang dag dug, aku mengucap salam kepada dua orang yang sedang ada di dalam rumah yang sejak tadi memperhatikan kedatanganku .
Waalaikum salam.” Jawab seorang ibu yang sedang asyik menancapkan bilah-bilah bambu di dinding-dinding sangkar burung.
Dekat ibu itu sudah ada bebarapa sangkar yang telah jadi. Di depan Ibu itu ada seorang gadis yang seumuran dengan aku. Kalau dilihat dari wajahnya dia mirip Ana. Mungkin dia kakaknya. Badannya lebih besar dan lebih tinggi daripada Ana. Kecantikan gadis itu juga tidak kalah dengan Ana.
“Ini benar rumah Ana, Bu!” tanyaku untuk memastikan.
“Ya, silahkan masuk Mas!”
“Inggih, Bu! Ana wonten teng griyo ?”
“Ada, Mas! Tapi, dia lagi di rumah Dwi. Baru saja keluar. Biar dipanggilkan Hana. Rumahnya dekat kog!”
Aku lalu masuk Hengky mengikutiku dari belakang. Tampaknya Hengky ragu-ragu dan takut. Terang saja. Karena aku kan belum kenal Ana, tetapi sudah mengaku-ngaku temannya. He…he…he…..Topan Nugraha e dilawan!  Gadis tadi disuruh ibunya memanggil Ana di rumah Dwi. Gadis tadi kakak Ana. Dia bernama Hana. Memang aku tidak kenalan dengan dia. Aku tau kalau namanya Hana dari ibu tadi  menyebut nama Hana.
“Pan,” kata Hengky setengah berbisik. “Apa tidak kita tanyakan dulu apa betul ini rumah Ana yang kamu maksud? Jangan –jangan kita keliru lagi!”
“Tidak apa-apa. Kalau keliru lagi, kita kabur lagi. Bereskan!?”
“Okey! Aku ikut saja. Tapi, aku takut...!”
“Udalahlah…,kita liat aja nanti!”
Aku menyapu seluruh ruangan. Mataku berhenti di sebuah buffet, menatap figura yang berukuran 10 R yang terpajang di buffet di ruang keluarga. Tidak salah lagi itu foto Ana. Walau dalam foto itu dia pakai jilbab, aku tidak pangkling. Aku tatap terus foto itu. Aku semakin yakin kalau rumah ini adalah rumah Ana yang sombong itu.
Aku mencoba melanjutkan pengamatanku. Ternyata di atas kepalaku persis terdapat foto Ana juga. Tapi foto yang ini dia tidak memakai jilbab. Ukurannya lebih kecil dari foto yang ada di atas buffet. Aku dan Hengky semakin yakin dan mantap. Aku dan Hengky saling senyum dan saling pandang. “Siii….p!!!” kami berdua mengacungkan jempol bersamaan. 
“Mas, monggo diminum! Sebentar lagi Ana pulang, kog!” kata kakak Ana ketika menyodorkan minuman dan makanan kecil kepada aku dan Hengky
Inggih, mBak!” Aku dan Hengky menjawab dengan kompak dan semangat.
Aku dan Hengky berpandangan lagi. Kami ketawa cekikikan melihat botol sprit dan makanan yang tersaji di meja. Tidak beberapa lama, Ana pulang. Dia Nampak terkejut melihat aku ada di rumahnya. Kemudian dia masuk ke dalam sebentar. Lalu  duduk di kursi yang berada di depanku. Dia diam. Mata Ana menatapku  menunjukkan tidak suka. Tapi lewat tatapan maatanya ada rasa rikuh kepadaku. Aku coba buka pembicaraan.
“Hai, An! Apa kabar?” Aku mengulurkan tanganku. Tetapi Ana hanya diam saja. “Masih ingat dengan aku?” 
“Masih!” jawabnya acuh. “Untuk apa kamu ke sini?!” katanya lagi tanpa melihat aku.
“Ya…, ingin kenal kamu, lah..?! Bolehkan?”
“Tidak! Aku tidak kenal kamu. Kapan aku kenalan sama kamu?! Kita tidak pernah kenalan dan kita tidak usah kenal!”
“Tapi, aku kan udah kenal kamu. Kalau begitu kita kenalan yuk! Kenalkan namaku Joko. Lengkapnya, Joko Ali Murtado. Aku  anak Pati,” aku mengulurkan tanganku namun Ana dingin.
“Sorry, ya! Aku tidak butuh kenal kamu!”
Ser….! Darahku mendesir. Badanku panas dingin. Aku jadi keringetan mendengar kata-kata sengaknya. Aku harus bisa kuasai diri. Aku jangan sampai mundur. Apalagi kabur. Aku mencoba bersikap wajar seolah-olah tidak ada peristiwa apa-apa. Aku mencoba pertebal muka.  Ana diam. Kelihatannya dia betul-betul marah. Suasana menjadi dingin dan hening. Tubuhku menggigil seperti habis kehujanan. Dadaku sesak sekali. Sakit sekali hati ini. Tetapi, aku harus bisa menguasai medan. Aku harus bisa menahan walau kaki ini berteriak-teriak ngajak lari pulang.
Aku diam. Kupandang wajah Ana. Tak sedetikpun aku lepaskan.Tetapi, Ana tidak melihat aku yang berada di depannya dia memandang di sebelah kiri, dia menatap dinding yang putih yang tidak ada apa-apa, hanya ada percak-percak hitam karena dimakan usia.
Walau hati sedikit keder,Aku mencoba mengeluarkan guyonan-guyonan agar Ana mau tersenyum. Aku juga mencoba mengeluarkan bualan-bualan, aku tambah rayuan.Kadang dia curi-curi pandang. Pada saat dia memandangku aku pura-pura tidak tau. Dia menatap wajahku cukup lama. Aku hanya menatap sangkar-sangkar burung yang belum jadi yang ditinggal pengkrajinnya masuk ke dalam. Agaknya ibu dan kakak Ana menyingkir sementara untuk memberikan sedikit kelonggaran kepada aku dan Ana.
Pada saat Ana menatap aku, aku tangkap tatapan matanya. Kami saling pandang cukup lama. Tetapi, wajah Ana masih kaku. Aku tidak menyerah. Tetep aku pandang wajah Ana yang ayu. Kali ini tatapan matanya mengenaiku lagi. Aku tangkap tatapan matanya lagi. Kemudian dia tersipu. Akupun begitu. Suasana jadi berubah agak mencair. Kami  saling pandang berkali-kali. Kami  tidak menghiraukan Hengky yang ada di sebelahku. Kalau mataku dan mata Ana bertemu, Hengky pura-pura batuk. Ehemb.. eHem! uhuk..uhuk! Ana terlihat tersipu. Wajahnya yang putih menjadi merah merona. Dia mulai tersenyum.
Akhirnya kami membuka percakapan. Kami kenalan. Dia menceritakan sedikit tentang bisnis keluarganya walau aku tidak tanya. Bapaknya seorang tebasan padi, dan di rumah membuat sangkar burung untuk kegiatan ibunya. Ya, lumayan untuk tambahan belanja katanya. Kadang kalau pesanan ramai Ana ikut bantu ibunya. Ana juga bercerita kalau saudaranya hanya dua. Hanya dia dan Mbak Hana.
Aku pun bercerita tentang alamat rumah, hidupku, keluargaku dan teman-temanku. Kadang Hengky sesekali menimpali pembicaraanku. Rupanya tanpa kami sadari aku cukup lama ngobrol bersama Ana. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak masuk rumah dan melemparkan kunci motor ke buffet. Brak!!! Lemparannya agak keras, membuat kami bertiga kaget.
“Ibu kamu di mana An?!” tanya bapak itu kepada Ana dengan suara keras.
“Di... dalam, Pak..!”
Orang itu lalu masuk ke dalam tanpa melihat ke arahku.Ana wajahnya tampak berubah. Dia kayaknya takut kepada bapak itu. Detak jantungku juga keras. Ternyata dia adalah bapak Ana. Aku tau perubahan sikap Ana. Aku harus tau diri. Aku harus cepat-cepat meninggalkan rumah Ana. Mungkin bapak Ana lagi kesal dengan pekerjaannya atau mungkin dia tidak suka anak gadisnya bertemenan dengan aku. Maklumlah, rambutku gondrong. Orang yang tidak tau kebaikan hatiku pasti menyangka kalau aku ini pemuda berandalan. Padahal aku ini orangnya baik.
Tanpa pikir panjang, aku pamit pulang. Sebelum aku pulang Ana memberi aku sebuah foto yang diambil dari album fotonya. Akan tetapi aku menolak. Karena... Aku menginginkan foto Ana yang di pajang di ruang tamu. Dengan kemarahan manjanya dia meluluskan permintaanku. Dengan senyum manisnya dia mengantarkan kepulanganku.
Setelah perkenalan di rumah Ana. Kami saling mengirim surat. Kami menyatakan isi hati masing-masing. Kadang kalau hari minggu aku dolan ke rumahnya. Tetapi, aku belum berani ngajak dia jalan-jalan layaknya orang pacaran.

# # # # #
Sudah hampir setahun aku berpisah dengan Ana. Hampir setahun aku tidak ketemu dia apalagi kirim surat ataupun main ke rumahnya.  Sejak aku diusir dari rumahnya, hubungan kami putus ditengah jalan. Semenjak itu, aku tidak pernah dolan ke rumahnya. Waktu itu, Ana betul-betul marah padaku. Dia menganggap aku mempermainkan hatinya. Menganggap aku lelaki tidak punya malu, laki-laki yang tidak punya hati. Laki-laki yang tidak punya perasaan. Laki-laki yang...dan lain-lain. Pokoknya banyak tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke aku. Banyak kata-kata kasar yang dibuang ke mukaku.
 Setiap aku kepingin dolan ke rumahnya untuk meluruskan permasalahan, nyaliku tak berani. Takut diusir lagi. Karena waktu itu, dia  mengatakan kalau seumur hidupnya tidak akan memaafkan aku. Selamanya, haram hukumnya rumahnya diinjak kakiku. Sampai kiamat pun kata maaf tidak akan diberikan padaku. Hingga kini aku tak berani menemuinya. Sampai saat ini aku pendam cintaku untuknya.
 Ada dua hal yang memicu kemarahannya. Yang pertama, masalah namaku dan yang kedua, katanya ada tiga suratnya yang tidak aku balas. Masalah nama memang aku akui, aku yang salah. Namaku Ali Taufan Nugraha, sering dipanggil Topan atau Ali Topan oleh teman-temanku. Namun, aku berkenalan dengan dia dengan nama Joko, lengkapnya Joko Ali Murtadho. Aku menggunakan nama Joko bukan karena aku ingin mempermainkan Ana.
Waktu  itu aku iseng saja. Aku pengen tahu hati Ana. Tetapi, setelah hubungan berjalan, Ana mengetahui namaku yang sebenarnya sebelum aku memberi tahu dia. Sebetulnya waktu itu aku ke rumahnya ingin jujur padanya bahwa namaku bukan Joko Ali Murtadho dan aku ingin mengetahui kabarnya. Karena waktu itu, hampir dua bulan surat Ana tak kunjung datang. E...malah aku diseret keluar.   
Kalau masalah nama, memang aku yang salah. Aku sudah mengakui dihadapannya dan aku sudah minta maaf berkali-kali. Tetapi, kalau masalah tiga suratnya yang tidak aku balas, aku mengelak. Semua surat yang aku terima semua aku balas. Aku tidak pernah menerima surat yang dia maksud. Katanya surat, itu dikirim ke pos lewat temannya. Surat itu dititipkan Diyah temannya. Aku sudah meyakinkan dia. Aku tidak pernah menerima ketiga suratnya. Aku malah dikatakan  pembohong. Laki-laki pengobral janji.
Selama ini aku mencoba mengubur angan-anganku untuk hidup bersama Ana. Walau hati ini masih miliknya. Aku mencoba melupakan dia. Aku merasa sudah tidak punya harapan lagi memiliki cintanya. Tetapi, tadi Hengky membawa pesan dari Ana untukku. Dia masih mencintaiku. Ana sudah memaafkan aku. Ana menungguku di rumah.
“Pan, kamu disuruh Ana ke rumahnya. Tadi pagi, aku bertemu dengan dia.”
“Untuk apa? Bukankan dia sudah tidak peduli dengan aku?’
“Dia menunggu kehadiran kamu. Kamu yang bisa menyelesaikan masalah Ana.”
“Ana punya masalah apa? Bukankah dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa aku?”
“Tidak. Yang dapat menyelesaikan masalah Ana hanya kamu dan dia. Kuncinya ada pada kamu. Ana akan dijodohkan orang tuanya. Dia akan dijodohkan dengan seorang mandor pabrik rokok Djarum”
“Lalu, hubungannya dengan aku apa?”
“Lo, kamu ini gimana! Bukankan kamu dengan Ana saling mencinta?”
“Iya, itu dulu. Tapi sekarang aku dan Ana kan sudah berpisah. Kami sudah tidak ada hubungan lagi. Dia sangat membenciku. Bahkan, dia akan membenciku sampai mati. Ana sudah tidak sudi lagi melihat mukaku. Ana juga tidak akan pernah memaafkan aku.
“Bukan. Dia tidak membenci kamu. Dia masih cinta kepada kamu. Selama ini dia menunggu kamu datang ke rumahnya. Dia sudah memaafkanmu. Dia selalu menunggu kamu datang ke rumahnya. Menunggu kamu mau minta maaf kepadanya. Dia menunggu kamu datang melamarnya. Tadi pagi, dia berkata begitu saat aku ke rumah Dwi.”
“Mengapa dia tidak mengirim surat?Mengapa dia tidak pernah mengirim kabar kalau dia telah memaafkan kesalahanku?”
“ Seharusnya, kamu lebih tahu. Kamu, yang tidak punya perasaan. Kamu yang menggantung permasalahan! Kamu tidak pernah mau menyelesaikan! Apa pernah kamu menemui Ana untuk menyelesaikan masalah kalian? Tidak, kan?!! Berkirim surat saja kamu tidak pernah apalagi mendatangi rumah Ana?”
“Dulu aku sudah mati-matian menjelaskan tapi, apa hasilnya? Apa....?!!
“Pan! Ana itu seorang perempuan. Perasaan seorang perempuan sangat halus. Mana mungkin seorang perempuan seperti Ana harus….. Ah!  Kamu  itu yang keras kepala! Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Ana! Seharusnya kamu yang datang dan meminta maaf pada dia. Bukan kamu.....!” Hengky menghentikan pembicaraannya, suara Hengky agak meninggi, tangannya dihantamkan ke udara yang ada di depannya untuk melampiaskan kemarahannya ke padaku.
Aku terdiam. Aku sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Sebetulnya aku selalu merasakan apa yang dirasakan Ana. Aku tau betapa sakit hati Ana. Karena orang yang dia cintai telah menipu dia. Memang aku yang salah. Aku akui aku yang salah. Aku berkenalan dengan dia dengan nama palsu. Aku berkenalan dengan dia dengan nama “Joko Ali Murtadho.”. Nama yang bukan namaku. Itu yang menguatkan pendapatnya kalau aku laki-laki yang tidak beres. Sebetulnya aku pengen membicarakan. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah hancur...
            Tetapi, aku tidak seperti yang ditudahkan Ana kepadaku kalau aku play boy. Aku setia dengan dia. Memang, aku akui sebelum kenal dengan dia kalau aku punya banyak cewek. Tetapi, setelah kenal dengan dia cintaku hanya untuknya. Aku putuskan semua cewek-cewekku. Satu Ana sudah cukup bagiku. Seorang Ana mampu membangkitkan angan-anganku.
Menurutku, Aku  sudah tidak punya harapan lagi atas cinta Ana. Karena pada waktu itu aku sudah minta  maaf berkali-kali kepadanya. Ana tidak mau memaafkan aku. Tapi, aku malah diusir dari rumahnya. Aku  tidak boleh masuk rumahnya.Terpaksa perdebatan sengit kita jalani di teras rumahnya. Karena pada saat kakiku menginjakkan pintu rumahnya dia menghadangku.
“Sebentar..jangan masuk dulu!”
“Ada apa An?”
“E...kok pura-pura tidak tau!”
Aku tidak menghiraukan kata-kata ana. Kemudian aku nylonong masuk ke dalam rumah. Tetapi, Ana dengan cepat menangkap pundakku dan menyeret aku keluar. Lalu dia menyuruh aku, duduk di balkon teras rumahnya. Kemudian Ana mencerca dengan berpuluh pertanyaan. Saat aku bertengkar dengan Ana ibu Ana menghampiri
“Mas, masuk rumah saja. Bicara di dalam...”
Kemudian Ana bilang,” Tidak, buk! Orangnya mau balik !”
Kemudian ibu Ana pergi meninggalkan kami. Mungkin dia menganggap aku akan betul-betul pulang. Kulihat, kakak ana sudah menaruh minuman dan makanan kecil di atas meja. Tetapi Kak Hana hanya diam saja. Dia kemudian masuk ke dapur tanpa memperhatikan aku. Setelah satu jam lebih aku dan Ana bertengkar di teras rumah, kakak Ana menghampiri kami, mBak Hana berdiri di depan pintu mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
“An, temanmu ajak masuk ke rumah a An!”
“Tidak mbak! Orangnya mau balik pulang! “
Lagi-lagi kata-kata itu yang diucapkan Ana. Kata-kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Kata-kata itu yang mengurungkan niatku masuk ke dalam rumah Ana. Setelah satu jam lebih sejak Mbak Hana mempersilahkan aku, akhirnya aku pamit pulang.
  “Oh, ya Pan! Ana meminta maaf tentang ketiga suratnya yang katanya tidak kamu balas. Ternyata surat itu tidak dikirim temannya. Surat itu sengaja tidak dikirim atas permintaan tetangga Ana yang suka dengan Ana. Dia menginginkan Ana putus dengan kamu, “ kata Hengky dengan menepuk pundakku. Kelihatannya Hengky memahami jiwaku.
Aku kaget. Kata-kata Hengky membuyarkan lamunanku. Kata-kata Hengky hanya aku balas dengan anggukan saja. Karena pikiranku kacau.
“Ana meminta kamu datang ke rumahnya. Kamu akan dihadapkan ke orang tuanya. Dia mengatakan ke orang tuanya, kalau dia sudah punya calon suami. Calon suaminya kamu. Makanya, kamu ditunggu Ana datang ke rumanya mulai sekarang. Kalau kamu tidak datang, terpaksa Ana menuruti keinginan orang tuanya,” kata Hengky sebelum meninggalkan rumahku. Dia kelihatannya tidak bisa memberikan solusi atas permasalahaku.
Kabar bahagia dari ana membuat aku tidak berdaya. Sebetulnya aku pengen sekali ke rumahnya. Aku kepengen ketemu dia. Aku sangat merindukan dia. Karena hampir setahun aku tidak ketemu dia. Aku kepengen berteriak bahagia. Aku kepengen berlari melamarnya. Tetapi, aku tidak bisa. Kali ini aku tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Aku tidak berani lagi datang ke rumahnya. Aku sudah tidak bisa memberi harapan kepada Ana. Aku tidak bisa berjanji seperti waktu dulu-dulu lagi.
Aku tidak mungkin bisa meluluskan permintaan Ana. Aku tidak bisa melamar Ana. Kini aku juga akan menikah. Aku akan menikah atas pilihan orang tua. Tadi malam, Bapakku mempersunting gadis itu untukku. Aku tidak mungkin membatalkan pernikahanku dengan Lisa. Karena tadi malam, aku sudah mengatakan setuju menikah dengan Lisa dihadapan Lisa, kedua orang tuaku dan kedua orang tua Lisa.
“An….! Kenapa tidak kemaren-kemaren kabar bahagia dari kamu ini sampai ke telingaku? Kenapa baru kali ini, An? Kenapa?! Andai saja kabar ini sampai padaku kemarin sore aku bisa merubah keputusanku. Pasti tadi malam aku ke rumah kamu. Pasti tadi malam aku berjanji di depan orang tuamu bukan di depan orang tua lisa, An...! Tapi, kini semua sudah terlambat. Semua telah berubah arah An...! Kapalku sudah tidak bisa berlabuh lagi di samudra kehidupanmu. Baru tadi malam aku menyanggupi tawaran orang tuaku. Baru tadi malam aku setuju menikah dengan gadis pilihan orang tuaku.”
Foto Ana hanya tersenyum melihat tetes air mata yang mengalir dari mataku. Sementara surat-surat Ana berserakan di kasur. Surat-surat itu sengaja aku baca satu persatu sebelum Hengky datang ke rumahku tadi. Aku ingin mengingat kembali keceriaan Ana saat aku dan dia masih bersama. Aku ingin menelan kebahagiaan saat menulis dan menerima surat dari Ana. Aku ingin mengingat candanya, tawanya, manjanya, marahnya....
Biarlah aku dianggap pengecut oleh Ana. Biarlah Ana selalu mengutuk aku dengan sebutan lelaki yang banci, lelaki yang tidak berani menikahi kekasihnya. Maafkan aku Ana! Ma’afkan aku. Semoga  kamu bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu. Ma,afkan!
Beberapa hari kemudian, aku menerima surat undanngan dari Ana. Surat undangan itu baunya harum. Aku ciumi surat undangan itu. air mataku tiada terbendung membasahi surat berwarna merah muda itu. Aku tidak tau kenapa aku tidak pernah berpikiran untuk menyelesaikan masalahku dengan Ana?
Aku menghadiri pernikahan Ana, waktu aku datang dia sudah didudukkan di kursi pengantin. Namun, calon suami Ana dan rombongan pengiring belum datang. Ana tampak bahagia melihat aku datang. Tapi kebahagiaan itu cepat hilang. Mendung menutupi raut mukanya. Rupanya hujan akan turun. Betul juga.  Ana mulai meneteskan air mata. Walau, butir air mata ingin coba ditahannya, air mata itu berjatuhan sebagai wakil hatinya.  Ia menatapku lama. Aku balas tatapan matanya. Air mata itu mengalir deras tak terbendung. Untung, hari masih pagi. Para tamu belum datang. Para tetangga yang ngalong sibuk sendiri-sendiri.
Aku mencoba menenangkan dia “An, orang mencinta tidak harus bersama. Orang mencinta tidak harus membina rumah tangga.” Air mata Ana semakin menderas jatuh dari bola matanya yang indah.” An, percayalah aku sangat cinta padamu. Kaulah cinta pertamaku dan cinta terakhirku. Tapi, kita harus ikhlas akan takdir kita. Aku tidak bisa menikahimu karena aku juga harus menuruti kehendak orang tuaku. Aku juga akan segera menikah, An!”  
Tangisan Ana malah semakin kencang. Membuat kami menjadi pusat perhatian para rewang. Namun, Ana tidak memperdulikan semua itu. Air matanya semakin dibiarkan  mengalir. Aku jadi ewoh dengan keluarga Ana dan para tetangganya. Kemudian, Ana dihampiri perias pengantin. Dia diajak masuk untuk memperbaiki make upnya yang rusak gara-gara lelehan air mata.
“Aku harap kamu jangan beranjak pulang dulu. Aku minta kamu mau menyaksikan akad nikahku. Nanti, Aku ingin foto dengan kamu. Aku ingin mengabadikan kenangan terakhir kita ini. Foto kamu akan aku jadikan penawar rinduku dan sebagai obat dalam sakitku,” pesan Ana  sebelum dia beranjak pergi digandeng dukun nganten itu.
“Baiklah…” kataku untuk menyenangkan hatinya.

Setelah Ana masuk ke dalam rumah, aku mengajak Hangky pulang. Mulanya Hangky protes. Tetapi, setelah memahami maksudku dia setuju. Akhirnya aku pulang tanpa meminta pamit dari Ana.   

Post a Comment

 
Top