Gadis Malam Satu Suro 6
oleh: Pak Guru Top

Kemarin, aku meminta Hanif membuat sketsa Windi berdasar deskripsiku. Dengan kelihaiannya, temanku Hanif mampu menghasilkan gambar wajah Windi yang sama persis dengan wajah Windi gadis yang aku jumpai malam satu Suro itu. Gambar goresan pensil Hanif itu semoga dapat membawa masalah Windi mendekati titik terang.
Lewat gambar yang dibuat temanku Hanif, Prastowo akan membantuku mencari informasi tentang Windi. Menurut Prastowo, dia pernah melihat gadis yang wajahnya sama gambar itu di Luwes sedang belanja. Entah kapan waktunya Prastowo lupa. Yang jelas dia pernah bertemu gadis itu .
Untuk itu, hari ini aku mengajak teman kuliahku, Prastowo mencari informasi tentang gadis cantik yang kini menjadi hantu dan mukanya hancur sebelah itu. Siapa tahu hari ini ada peruntungan untuk Windi meskipun kemarin-kemarin aku gagal mengais informasi tentang gadis misterius itu.  Bersama karibku Prastowo hari ini aku berharap dapat kejelasan siapa Windi dan hal apa dia ingin meminta tolong kepadaku.
 “Turun, Yan!” kata Prastowo menghentikan motor di depan sebuah kafe.
“Lo, ada apa, Pras? Mengapa kita ke sini?” tanyaku.
 “Bukankah, kamu akan mencari Windi?
“Ya, memang betul! Tujuanku mengajak kamu mengitari Pati memang untuk mencari keterangan tentang gadis itu. ”
“Untuk itu, Kamu turun lalu kita masuk ke situ!”
“Emanngnya di situ ada Windi?”
““Udah… kamu turun saja! Lalu kita masuk ke kafe itu!
“Pras, kamu ini gimana! Kita itu mau mencari Windi, bukan untuk berhappy-happy?!”
“Siapa yang ngajak kamu happy-happy?! Jangan GR ….!”
“Itu tadi, kamu mengajak aku masuk ke kafe itu! Di situ kan tempat untuk orang bersenang-senang!”
“Kata peribahasa ini dinamakan Sambil menyelam minum air, okey…! Kita masuk ke kafe itu mencari informasi tentang Windi, ya sambil bersenang-senang! Kita nanti tanya-tanya tentang Windi, hantu pacarmu itu! Siapa tahu orang-orang yang di dalam situ ada yang tahu Windi!”
“E…jangan sembarangan, Windi itu bukan pacarku! Dia itu bukan tipeku. Aku mencari dia karena kemanusiaan bukan yang lain!
Sebetulnya gadis seperti Windilah aku cari untuk aku persunting sebagai istri. Orangnya tinggi dan cantik. Sayang, dia sudah meninggal. Tetapi aku menutupi gengsiku dihadapan Prastowo. Biar dia tidak terus-terusan meledekku.
“Bukan kemanusiaan, tetapi demi perhantuan dan perhatian…hehehe.!”
.”Terserah kamu, lah!  Kenapa tanyanya harus ke situ tidak ke tempat yang lain?”
“Waktu malam satu Suro kamu menurunkan Windi di mana?”
“Dekat lampu bangjo itu!”Aku menunjuk lampu lalu lintas di perempatan Penthol Blaru yang jaraknya kurang lebih 300-an meter dari kami.
“Nah.., makanya itu!”
“Maksud kamu?”
““Kamu ini bego, ya! Gini, aku jelasin! Kata kamu waktu malam satu Suro kamu bertemu Windi lagi mabuk di jalan bersama tiga temannya laki-laki dan satu orang perempuan ya, kan!?
“Ya!”
“Lalu Windi meminta kepada kamu untuk mengantarkan pulang dan kamu antar  pulang. Dia turun di Penthol Blaru itu, lalu masuk rumah besar. Tetapi, pagi-pagi pada saat pulang dari makam Prabu Angling Darma kamu lewat situ rumah yang di masuki Windi malam itu tidak ada. Malahan tempat bangunan rumah itu sebuah pemakaman ya, kan!”
 “Ya, terus….!”
“Makam itu kan, jaraknya tidak jauh dari sini! Dah, jangan berdebat! Ayo, kita masuk!”
Aku mulai menangkap jalan pemikiran Prastowo. Windi kemungkinan sering berkunjung ke tempat ini. Karena tempat turunnya Windi tidak jauh dari sini. Tumben, otaknya encer! Padahal saat mengerjakan tugas-tugas kuliah otaknya tumpul bahkan berkarat seperti pisau yang tidak pernah diasah. Apalagi kalau ngerjain soal semesteran dia hanya nunut jengen. Tinggal nyalin jerih payahku. Tetapi, masalah kayak gini tiba-tiba otaknya pinter juga.
Aku nurut perintah Prastowo. Turun dari motor. Lalu, kami berdua masuk kafe yang bertuliskan “ Kafe Goyang Senggol”. Aku membuntut langkah Prastowo. Langkah kakiku agak berat masuk kafe ini. Maklumlah, aku tidak pernah berkunjung ke tempat yang seperti ini. Berbeda dengan Prastowo langkahnya tampak bersemangat. Kepalanya  manggut-manggut menikmati alunan musik yang menghentak-hentak dan memekakkan telinga ini.
Minuman yang berbau alkohol menusuk-nusuk hidungku ketika aku berjalan mengikuti Prastowo mencari meja yang kosong. Baunya yang anyir membuat aku beberapa kali ingin muntah. Kalau tidak demi Windi mana mungkin aku mau masuk tempat ginian.
“Kita duduk di situ saja, Yan!” Prastowo menunjuk meja kosong yang berada di pojok. “Kamu mau minum apa? “
 “Aku  kopi saja!
 Aku memilih minum kopi biar tidak ngantuk. Semalaman aku tidak bisa tidur. Mau tidur gragapan terus. Entah mengapa perasaanku tidak tenang.
“Jangan Ndeso, Yan! Di sini tidak ada kopi.
“Lo, bukannya ini Kafe. Kafe  menjual kopi, kan?
“Iya, tetapi di sini yang ada kopi hitam!”
“La, ada gitu kok kopi hitam. Ya, kopi hitam. Kopi hitam seleraku!
“Kopi hitam itu bir! Kamu, mau?”
“Bir? Aku tidak pernah minum Bir. Klo gitu aku minta es fanta saja!”
“Masuk tempat ginian minumnya es fanta? Apa kata dunia? Okey!”
“Mbak, bir satu dan fanta satu,” kata Prastowo kepada seorang pelayan cantik yang menghampiri kami.
“Tunggu sebentar ya, Mas!” kata pelayan itu.
Tak beberapa lama pelayan itu sudah membawa pesanan kami. Bahkan menambahkan beberapa cemilan.  
“Yan, yuk kita karaoke!”
“Enggak ah, tidak bisa.”
“Alah… tinggal nyanyi doang, kok gak bisa! Ya, hitung-hitung melupakan cewekmu yang katanya setia tetapi menikungmu itu!”
“Kamu sajalah, biar aku duduk di sini.”
Sebetulnya aku kepingin nyanyi untuk memuntahkan kekesalan dan kebencian kepada Nita. Tetapi, aku enggan. Perasaanku dicekam ketakutan kalau-kalau ada orang sedesaku atau ada orang yang mengenali aku. Malah bisa di desa nanti menjalar informasi kalau aku pemuda yang sering mendatangi tempat kayak gini. Bisa-bisa aku membunuh bapakku.
“Bener nih, kamu aku tinggal nyanyi tidak apa-apa!”
“Bener…! Nyanyi saja, aku tidak apa-apa kok, duduk sendiri!”
“Aku suruh pelayan kafe ini untuk menemani kamu di sini, ya!”
Tidak, usah! Biar aku duduk sendiri!”
“Tidak, apa-apa! Kamu nanti kan bisa tanya-tanya tentang Windi.”
“Terserah kamu lah.”
“Nah, gitu dong!”
“Tapi pelayannya yang cantik, ya!”
“Wah, putranya Bapak Kyai Haji Umar play boy juga, ha ha ha! Jangan kawatir, nanti aku carikan yang kayak Windi. ”
Aku hanya senyum-senyum saja merespon candaan Prastowo. Prastowo berdiri seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dia berjalan menghampiri gadis yang beramput pirang. Mereka berbincang dengan menunjuk-nunjuk aku. Mungkin wanita itu yang disuruh menemani aku.
“Okey, beres Yan! Aku carikan pelayan yang bodinya kayak Windi. Tu..orangnya!” Prastowo menunjuk perempuan yang berdiri di depan pintu dapur. “Tetapi, dia ke sini 10 menitan lagi. Dia merampungkan dulu pekerjaannya.”
“Okey!” kataku.
Sebetulnya Prastowo orangnya luwes juga. Tetapi mengapa teman-teman kampus menganggap kalau prastowo ini judes dan kurang bisa bergaul. Teman-teman  jarang yang mau temenan dengan dia. Hanya aku saja yang dapat menjinakkan dia. Aku dapat berkomunikasi dengan semua orang dan tingkatan. Dari yang muda sampai tua. Tetapi di tempat seperti ini aku jadi mati kutu. Aku tidak berani apa-apa.
“Aku turun dulu ya, Yan! Mumpung ada pemandu yang cantik. Kamu siap-siap saja menunggu Linda, gadis yang menemanimu ngobrol.”
“Sipa Linda?”
“Gadis yang aku suruh nemanin kamu.”
“O.., namanya Linda.”
Setelah menenggak bir, Prastowo turun berkaraoke. Sementara aku duduk sendiri menunggu pelayan yang menemani aku berbincang. Prastowo turun berkaraoke ditemani gadis cantik berambut panjang dengan tubuh padat. Kadang gadis itu menggodaku atas perintah Prastowo. Beberapa kali gadis itu bergoyang di depanku dengan goyangan yang erostis memancing birahiku. Tetapi, aku tidak pernah tergoda. Gini-gini alumni pesantren. Namun, dadaku bahkan tubuhku bergetar keras. Aku tahan seperti orang kedinginan. Dia juga menarik-narik tanganku untuk bernyanyi dan berjoget. Namun aku tolak dengan tersenyum dan menggelengkan kepala.
Rasa bosan sudah menggerogotiku. Linda,  pelayan cantik yang menemaniku ngobrol sudah berlalu satu jam lalu. Tadi aku melempar banyak pertanyaan kepada gadis yang rambutnya dicat kayak bule itu. Namun, dia tidak menahu tentang Windi. Wajah Windi dalam gambar sketsa yang aku tunjukkan malah baru dikenalnya. Dia juga sempat tanya-tanya teman-teman pelayan lain, akan tetapi mereka juga tidak kenal wajah perempuan satu Suro itu. Beberapa orang pengunjung yang aku tanyai tadi juga tidak tahu-menahu.
Setelah Linda pergi dari hadapanku, aku memaksakan diri untuk tersenyum dan manggut-manggut melihat Prastowo bersama gadis pemandu yang menumbuhkan chemistry yang berlebihan dalam bernyanyi. Walau lagu yang dinyanyikan mereka kali ini lagu yang berjudul Hitam Duniamu Putihnya Cintaku merupakan lagu kesukaanku, aku tidak dapat menikmati. Biasanya kalau aku mendengar lagi ini, apapun aktivitasku aku hentikan sejenak untuk menikmati dan menghayati lagu tersebut.
Badanku rasanya sudah tidak nyaman lagi di tempat ini. Hati gelisah tak menentu. Kupandangi orang-orang  disekitarku kelihatannya sangat enjoy. Karena tujuan mereka ke sini untuk mencari kesenangan. Kelihatannya hanya  aku saja yang merasa kesepian di tengah keramaian kafe ini.
Aku berencana mengajak Prastowo pulang. Aku sudah tidak mood lagi di sini. Saat aku akan berdiri dari tempatku duduk, tiba-tiba mataku menangkap gadis cantik memakai kerudung ada di dapur kafe ini. Pandangan matanya lurus dengan pandangan mataku. Tidak sengaja kami berpandangan agak lama. Kelihatannya, aku pernah mengenal wajah seperti itu, tetapi siapa dia? Dan dimana aku pernah ketemu gadis cantik itu?
“Windi…! Ya, wajah itu mirip Windi!”
Secara  cepat nama Windi terbayang di benakku. Soalnya kemarin aku iseng-iseng ngasih kerudung di gambar sketsa Windi. Windi terlihat sangat cantik bila memakai kerudung. Aku mengeluarkan gambar sketsa dari sakuku. Kucocokkan dengan gadis itu. Betul juga, gadis tadi wajahnya sama persis dengan gambar yang aku pegang. Walau dia memakai kerudung namun wajahnya lekat dimataku. Apa itu hantu Windi atau kembaran Windi bekerja di sini? Ataukah pikiranku yang masih terbawa oleh Windi sehingga berhalusinasi bahwa ada Windi di kafe ini?
“Aduh!”
Aku mencubit pahaku. Kemudian menampar mukaku. Sakit juga. Berarti aku tidak dalam bermimpi. Berarti sosok gadis tadi juga tidak hasil dari halusinasiku. Aku bangkit dari duduk, buru-buru mendekati Prastowo yang sedang asyik bergoyang dengan gadis pemandu.
“Pras!!”
Aku berteriak keras melawan kerasnya musik yang memenuhi ruangan.
“Ya!” jawabnya dengan keras.
“Tadi aku lihat gadis yang wajahnya sama persis Windi!”
“Apa?! Kamu mau pergi?”
“Bukan…! Aku melihat Windi!” Aku berteriak lebih keras lagi.
“O…kamu, mau ke kamar mandi? Ya…kesana lurus saja!”
Aku tinggalkan Prastowo begitu saja. Sebel juga. Diajak bicara tidak nyambung. Aku ngasih tahu kalau aku melihat Windi, malah tangkapan telinganya aku mau kekamar mandi. Aku bergegas menuju dapur kafe untuk mencari gadis yang sudah lenyap dari pandanganku.
“Mau kemana, mas?” tanya seorang lelaki yang berdiri di depan pintu dapur.
“Mau ke kamar mandi, Pak!”
“Kamar mandi sebelah sana, Mas! Tuh, ada tanda!”
“Oh, iya pak! Terima kasih!”
Dengan terpaksa aku menelusuri jalan menuju toilet.  Sialan! Dia menggagalkan aku masuk dapur kafe ini untuk mencari gadis yang wajahnya kembar Windi!
Rasanya  aku pernah kenal lelaki tadi. Bahkan aku sempat ngobrol dengan dia. Tapi, dimana? Oh, ya aku baru ingat! Itu orang yang pernah kutemui di pasar burung. Waktu itu aku sempat berbincang di warung pasar burung dengan orang itu. Dia  menawari aku siung beruang dan kuku macan. Bahkan dia menawarkan mani gajah dan minyak asma’ yang katanya bisa untuk pelet. Orang itu juga yang membayar kopiku. Mungkin waktu itu mengambil simpatiku agar aku kepincut barang-barang mistis yang ditawarkannya.
Kembali dari toilet, Prastowo sudah duduk di meja kami. Suara musik tidak menghentak lagi. Sementara gadis yang diajak karaoke tadi duduk berhadapan dengan Prastowo. Aku ikut nimbrung pembicaraan mereka.
“Pras, tadi aku melihat wajah yang mirip Windi,” kataku.
“Kamu melihat di mana?” Tanya Prastowo.
“Aku melihat dia di dapur kafe ini. Dia memakai kerudung.”
“Ha ha ha ha…! Mana mungkin Windi memakai kerudung? Itu halusinasi kamu. Kamu yang selalu berharap Windi itu masih hidup. Kamu mendabakan dia memakai kerudung seperti gadis yang kamu impikan. Ha ha ha… !
“Betul Pras, aku tidak bohong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Awalnya aku kira mimpi. Tetapi setelah aku mencubit pahaku dan memukul pipiku. Aku kesakitan. Itu tandanya aku sadar. Tidak berhalusinasi. Gadis itu sama persis dengan gadis yang aku jumpai pada saat malam satu suro. Berarti Windi masih hidup!”
“He, jangan mimpi! Windi itu sudah mati. Sekarang dia jadi hantu. Kalau Windi masih hidup, siapa yang jadi hantu? Ayo, kita pulang saja! Lama-lama di sini kamu bisa gila!”
“Tapi…tapi, Pras!”
Prastowo tidak menghiraukan aku. Dia melangkah menuju kasir. Setelah membayar, dia berjalan keluar. Terpaksa aku mengikuti Prastowo. Aku masih bingung tentang gadis tadi. Jelas aku melihat dengan nyata bahwa itu gadis yang pernah aku temui. Tetapi, aku juga membenarkan kata-kata Prastowo kalau Windi masih hidup mengapa ada hantu yang selalu menjumpai aku bernama Windi. Wajahnya juga sama persis dengan Windi, gadis malam satu Suro itu.
“Yan, kalau betul di sini ada Windi yang sama seperti gambar yang kamu bawa pasti orang-orang di sini tahu, tetapi nyatanya mereka tidak tahu sama sekali tentang gadis yang seperti gambar kamu bawa itu,” kata Prastowo setelah di tempat parker.
Benar juga apa yang diucapkan Prastowo. Windi…Windi….! Mengapa kamu membuat aku bingung seperti ini? Tetapi aku yakin seyakin yakinnya gadis yang aku lihat di dapur kafe itu nyata. Wajahnya dan tingkahnya sama perish dengan gadis yang mabuk di malam satu Suro itu. Windi masih hidup. Siapa hantu yang menjumpaiku?




Post a Comment

 
Top