Cinta Pertama Awal Februari
Oleh: Pak Guru Top (Sutopo Saryani) 

Magrib sudah berkumandang. Seruan Illahi telah dilantunkan para muadzin masjid-masjid dan mushola-mushola. Seperti biasa setelah menunaikan sholat magrib aku pergi mengaji. Senja ini aku agak  bersemangat pergi mengaji. Entah mengapa ada sedikit dorongan dalam jiwa yang memaksaku untuk cepat-cepat pergi ke rumah Kyai Badrun.
Hanya hitungan menit saja aku sudah sampai di rumah Kyai Badrun, karena jarak rumah kyai Badrun dengan rumahku cukup dekat. Kurang lebih jaraknya 300 meter. Rumah  Kyai Badrun tampak sepi. Biasanya banyak teman yang mengaji, tetapi malam ini tidak kutemui satu pun temanku. Ternyata Kyai Badrun belum pulang dari berkunjung ke rumah teman-temannya. Pantesan saja,  teman-temanku sudah buyar entah kemana.
 Biasanya, kalau kekosongan ngaji seperti ini teman-temanku pergi ke masjid. Karena masjid dekat dengan rumahnya Nyai Saedah, seorang guru ngaji gadis-gadis desaku. Biasa, anak muda. Aku bergegas mau menuju ke masjid untuk menyusul teman-teman. Aku membayangkan Joko, Ma’ruf, Syarif....dan teman-teman yang lain. Joko yang pendiam dan sok alim itu tentunya sudah berada di bawah kelapa belakang rumah Nyai saidah bersama Purwanti . Sedang, di masjid Ma’ruf, Syarif, dan Darso berlarian ke sana ke mari, dikejar mardi dengan mengacungkan sapu. Mereka  bertiga dikejar Darso karena.........
“ Kang, tunggu! Aku menoleh kepada seorang gadis yang memanggilku. Walau hari sudah gelap, tapi aku hapal betul siapa  pemilik suara itu. Dia adalah Sarah. Gadis cantik anak Kyai Badrun. Sarah umurnya 3 tahun lebih muda dariku. Dia anak pertama Kyai Badrun.
“Oh… kamu tho, Dik Sarah! Ada pa?” aku menjawab sambil menatap wajah gadis periang yang terlihat senyum-senyum kepadaku.
“Kang Narto akan pergi ke masjid, kan?” Sarah bertanya kepadaku dengan menahan napas, seolah-olah dia habis berlari jauh.
“Iya, Dik! memangnya kenapa?”
“Boleh, dak aku bareng Kang Narto”
“Ayo…!”
Kemudian aku dan Sarah jalan bareng dia berjalan di sebelah kananku. Jantungku berdegup tak menentu sesekali Sarah memegang pundakku. Karena kami berjalan di atas riak air, Sarah harus menjijing ondernya. Kaki Sarah yang selama ini disembunyikan dengan busana muslimnya dapat aku nikmati lewat lampu jalanan yang dibiaskan air. Kebetulan jalanan juga sepi. Kami sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Maklumlah ini awal bulan Februari. Ini musim penghujan. Desa kami sudah langganan banjir tiap tahunnya. Untung ini air datang hanya setinggi lutut anak kecil. Kalau dua tahun yang lalu kami harus terpaksa mengungsi karena air datang setingggi 2 meter.
“Kang….! Boleh gak aku bertanya sama Kang Narto?”
“Boleh. Kamu mau tanya apa?”
“Ah, tidak jadi Kang ah. Kapan-kapan saja.!”
“Lo.... Kenapa tidak jadi?”
“Malu”.
“Malu?Sama siapa?”
“Enggak Kang ah, takut!”
“Kog, takut! Tidak ada orang kog!”
“Takut dengan Kang Narto.”
“Takut sama saya? Emangnya Kang Narto kuntilanak. Jangan bikin penasaran dong! Ayo ngomong.”
“Kang…..seandainya ada gadis yang suka sama kamu, Kang Narto terima pa gak.”
“Ah, adek ni ada-ada saja. Siapa yang suka sama aku?”
“Ya, ada. Bahkan banyak! Jawab aja Kang. Cinta cewek itu kamu terima apa tidak, Kang?”
Kemudian aku menghentikan langkah persis di bawah lampu jalan. Aku menatap wajah Sarah. Dia tertunduk.
“Dek, kalau ada yang suka sama aku, aku akan terima dengan sepenuh hati. Aku beruntung ada gadis yang cinta padaku.”
“Betul, Kang?”
“Terus, siapa gadis yang suka pada ku?”
“Ada dech. Udah, dulu ya Kang. Adek, ngaji dulu. Nanti kita pulang bareng. Tunggu adek ya? Nanti aku kasih tau.”
Rupanya tanpa sengaja kita sudah berada di depan rumah Nyai Saedah. Kemudian sarah cepat-cepat masuk rumah Nyai Saedah. Sedang aku menuju ke masjid. Ternyata di masjid tidak ada satupun teman yang aku jumpai. Tetapi, aku sudah tidak memperdulikan teman-temanku lagi.Aku juga tidak ingin tahu keberadaan mereka. Yang aku pikirkan kata-kata Sarah. Aku penasaran dengan kata-katanya tadi. Siapa gerangan gadis yang suka dengan aku? Mungkinkah  Sarah sendiri yang suka dengan aku? Atau mungkinkah ada gadis yang lain yang suka aku tapi tidak berani mengatakan, kemudian dia menyuruh Sarah untuk mengatakan kepada aku?
Setengah jam menunggu Sarah, rasanya sangat lama. Rasanya ingin aku putar saja jam yang bergelantung di dinding masjid. Aku ingn segera mendengar jawaban dari Sarah. Siapa gadis yang bikin aku gelisah kayak gini. Ah…, Sarah bikin aku kepo saja. Berkali-kali aku melihat kearah rumah Nyai Saedah. Namun, Sarah belum juga keluar dari rumah joglo yang megah itu.  
“Udah Kang, yok.. kita pulang !”
Tiba-tiba sarah mengejutkan aku. Dia tanpa basa-basi mengajak aku pulang bareng padahal ada beberapa jamaah magrib yang duduk-duk di teras masji.Temen-temen sarah sudah pada pulang semua. Sarah pulang paling belakang karena ia mendapat antrean paling belakang. Dia  sengaja agar dia bisa pulang bareng aku lagi. Walau sebentar lagi adzan isyak aku tidak jamaah di masjid. Aku sudah penasaran pengen mengungkap siapa gerangan cewek yang suka dengan aku.
“Ayouk!” jawabku
Sarah menatapku lama. Aku jadi grogi dan deg-degan. Kemudian kami berdua berjalan berdampingan. Dia selalu memmperhatikan aku, kadang menatap aku lama. Kami berjalan melewati tempat yang sama. Meskipun belum ada adzan Isyak jalan tetap sepi. Agaknya orang-orang enggan keluar rumah. Mereka memilih diam di rumah, menonton TV dan minum kopi, bersama anak dan istri.
“Dek, katanya tadi mau ngasih tau aku siapa gadis yang suka padaku. Siapa gadis yang suka padaku dek?”
“Kang Narto pasti tau siapa gadis itu.”
“Lo, mana aku tau? Kan belum kamu kasih tau.”
“Aku tanya sama kang Narto. Apakah kang Narto mau terima gadis itu?”
“Wah, akan Kang Narto terima dengan senang hati.”
“Tapi, orangnya jelek Kang!”
“Tidak masalah. Bagi Kang Narto muka tidak masalah yang penting hatinya. Fisik manusia hanyalah bungkus saja. Kecantikan fisik kalah jika dibandingkan dengan kecantikan hati.”
“Betul, Kang?!”
“Iii..ya.!”
“Sumpah?”
Sek!sek,sek, ono opoiki kog pake sumpah segala.”
Ora ono opo-opo, kang ah....! Apa Kang Narto mau mencintai gadis itu dengan sepenuh hati?”
“Insyaallah, akan aku cintai sepenuh hati. Katakan siapa gadis itu?”
“Aku kang.  Aku gadis itu .Aku yang suka Kang Narto”
Kata-kata Sarah langsung menusuk hatiku. Gadis cantik itu menatapku lama dan dalam. Hatiku jadi tak menentu. Tiba-tiba jantungku bergetar keras. Inikah yang disebut cinta? Ya, mungkin ini ruh cinta singgah di hatiku.
Aku sudah menduga. Pasti Sarahlah gadis itu. Karena dari cara dia bicara, cara dia menatap aku dan begitu semangatnya mendengar jawaban-jawaban dari aku. Tidak hanya kali ini saja. Tetapi pada saat aku dan teman-teman ngaji, dia sering menatapku lama dan sangat dalam. Sempat aku pernah menangkap tatapan mata itu. Tetapi aku tidak berani menyimpulkan. Aku tidak berani menerjemahkan. Aku akui, aku juga suka pada Sarah. Tetapi aku tidak berani mengungkapkan. Karena dia anak seorang kiyai. Sedang aku ini, anak orang biasa. Status sosial kami bagaikan sumur dan langit, yang sangat jauh jaraknya.
“Ya, Dek. Kang Narto juga cinta pada Dek Sarah.”
Betul, Kang?
“Ia, betul”.
“Alhamdulillah….! Kang, yuk ke rumahku. Nanti aku buat alasan ke ibu kalau aku ada PR Matematika.”

“Oke!”

Post a Comment

 
Top