Periode Angkatan 45 (1940)
Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel, dan drama. Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
-Katahati dan Perbuatan (1952)
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 45.
Ciri-ciri Puisi
1. Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan (rima).
2. Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa sehari-hari.
3. Menggunakan kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
4. Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalui peneropongan batin sendiri.
5. Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal).
Misalnya, tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi manusia, masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan mencolok antara golongan kaya dan miskin.
6. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
Contoh:
Aku
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar, Maret 1943)
Puisi ”Aku” tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan. Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua terdiri atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi ”Aku” mengekspresikan langsung perasaan penyair. Diksi atau pilihan kata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari. Dalam puisi ”Aku” terdapat kalimat-kalimat ambigu yang menyebabkan banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seributahun lagi yang berarti penyair benar-benar ingin hidup sampai seribu tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya diteruskan dari generasi ke generasi walaupun penyair telah meninggal.
Hubungan baris dan kalimat pada puisi ”Aku” tidak terlihat,karena tiap-tiap kalimat pada puisi ”Aku” seperti berdiri sendiri. Misalnya, pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan. Namun, secara makna bait 1 dan 2 berhubungan. Puisi ”Aku” mengekspresikan kehidupan batin manusia yang tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas. Masalah yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia untuk bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Filsafat eksistensialisme mulai tampak dalam puisi ”Aku”. Dalam puisi ”Aku” penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun dalam keadaan yang terasing dan tersiksa.
Ciri-ciri Prosa
1. Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus
2. Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat
3. Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung, melainkan dengan cara dramatik.
4. Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi manusia oleh manusia.
1. Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus
2. Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat
3. Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung, melainkan dengan cara dramatik.
4. Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi manusia oleh manusia.
Contoh:
. . . .Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan adalah masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru Isa)
5. Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Misalnya,masalah kesengsaraan karena perang, tidak adanya perikemanusiaan dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutan- ketakutan manusia, impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
Contoh:
. . . .
Isa berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari lagi. Gadis-gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil orang Tionghoa yang luka, tetapi orang-orang menahan.
”Jangan,” kata mereka, ”ubel-ubel itu tidak peduli Palang Merah.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan dalam perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja tentara-tentara tetap menembaki anggota Palang Merah.
6. Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi untuk memecahkan sesuatu masalah.
Contoh:
. . . .
Guru Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan pada tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . . orang harus belajar hidup dengan ketakutan-ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu. . . . Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya.”
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan pikirannya untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.
7. Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan masyarakat sehari-hari.
7. Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan masyarakat sehari-hari.
Contoh:
. . . .
Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa waswas tentang keselamatan istri dan anaknya.
. . . .
Dikutip dari: Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1990
Post a Comment