BAGIAN 2
MENGANTAR WINDI PULANG

Hujan mengguyur bumi dengan derasnya mengiringi perjalanan kami. Halilintar menyambar-nyambar sekenanya. Suara “Cetar! Cetarrr…!” seperti di atas kepala saja.  Basah kuyup seluruh tubuh tak kuhiraukan. Si biru tetap kutarik kencang. Windi juga tidak protes. Dia kelihatannya menikmati perjalanan. Mungkin dia menginginkan cepat sampai rumahnya.
Rangkulan tangan Windi ke perutku semakin kuat. Aku semakin grogi dan deg-degan. Perasaan antara risih dan senang bercampur. Tidak hanya rangkulan tangan Windi yang dikencangkan, tetapi tubuhnya kadang dibenamkan di punggungku. Degup jantungku semakin kencang dan tak menentu.
 “Mas, berhenti!” teriak Windi
“Ya, Mbak!” Aku dengan cepat menginjak rem si biru.
Tak terasa Kami  sudah sampai Pati. Cepat benar sudah perjalanan kami hingga tak tetasa sudah sampai Penthol Blaru. Aku hentikan Si biru di depan ruko sebelah utara Penthol Blaru. Windi turun dari motor. Alhamdulillah, hujan telah berangsur berhenti.
 Lewat lampu kota aku pahamkan wajah  Windi. Aku mengamati dari kaki hingga rambutnya. Windi memang seorang gadis yang sangat cantik. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Wajahnya bulat telur. Kulihat jari-jari tangannya lentik-lentik. Umurnya kira-kira 18 tahun. Tubuhnya yang basah menambah kecantikannya. Sungguh mempesona. Mengapa gadis secantik ini harus bergaul dengan orang-orang yang tidak benar?
Windi melangkah pergi. Dia meninggalkan aku dan Ipung begitu saja tanpa ada ucapan terima kasih. Aku maklum. Mungkin pikiran Windi masih bingung gara-gara mabuk tadi. Aku pun tidak sakit hati karena aku menolong demi kemanusian bukan karena imbalan. Aku menolong dia iklas lahir batin.
Setelah beberapa langkah rupanya Windi kembali. Dia menatap aku lama seperti orang yang akan berpisah lama saja. Aku tidak tau apa maksudnya. Aku tidak berani menatapnya.
“Terima kasih ya, Mas sudah mengantar Windi!” kata Windi dengan mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Iya Mbak, sama-sama!” jawabku.
“Terima kasih ya, Mas!” kata Windi kepada Ipung dengan menjabat tangan Ipung.
“Ya, sama-sama! Aku antar sampai rumah ya, Mbak!” Ipung mencoba menawarkan jasa.
“Tidak usah ah Mas, terima kasih..!”
Windi menoleh ke arahku. Matanya  menatap tajam lagi. Tatapan matanya kali ini sangat lekat ke mataku sampai mampu menusuk hatiku. Kedalaman tatapan matanya mampu mengoyak perasaanku. Ada sedikit gemetar rasa hati ini. Sebelum dia beranjak pergi dia meninggalkan senyum kepadaku.
“Mbak Windi yakin mampu pulang sendiri?” kataku untuk menahan langkahnya. Karena tiba-tiba hatiku tak merelakan  Windi cepat pergi meninggalkan kami.
“Tenang saja Mas, rumah Windi dekat kok!” Kata Windi dengan membalikkan tubuhnya ke arah kami.
“O, begitu..!” jawabku agak gugup.
“Rumah Mbak, sebelah mana?” tanya Ipung.
“Tuh…, di belakang ruko ini! Sekali lagi terima kasih ya, Mas!” kelihatannya Windi juga tidak ingin cepat beranjak pergi meninggalkan kami.
“Sama-sama, Mbak!” jawabku dan Ipung hampir bersamaan.
Aku tidak punya alasan untuk dapat menahan kepergian Windi. Entah mengapa aku jadi grogi berhadapan dengan gadis yang baru aku kenal ini. Aku jadi kaku. Mulutku juga kayak dikunci.
 Kemudian Windi melangkahkan kaki meninggalkan kami. Dia berjalan menuju rumah besar kuno yang berpekarangan luas. Sebelum masuk rumah senyum dan tatapan matanya dilemparkan kepada kami. Setelah Windi masuk rumah, aku dan Ipung putar balik lagi menuju ke tempat tujuan dari rumah yakni  ke Dusun Mlawat, Sukolilo untuk melekan  satu Suro tahun ini.

Dalam perjalanan, aku teringat kalau belakang ruko itu sebuah kuburan. Siapa sebenarnya Windi? Mengapa ada rumah yang berdiri megah di situ? Pikiranku masih dibuat penasaran oleh Windi dan rumah besar itu. Seingatku belakang ruko itu sebuah kuburan. Tapi, mengapa ada rumah dengan nuansa kuno di situ? 

Post a Comment

 
Top