BAGIAN 1
BERTEMU GADIS MABUK   

“Pung! Pung! Berhenti…!”
Aku berteriak dengan menepuk-nepuk pundak Ipung. Menyuruhnya menghentikan langkah si biru, motor kesukaanku.
“ Ada apa, Kang!”  
“Hentikan si biru!”
“Kenapa, kang!”
“Teman-teman, tidak ada di belakang kita!
 “ Iya, Kang!”
Ipung memperlambat kecepatan si biru. Persis di jembatan, si biru berhenti. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke belakang.  
“Wah, betul Kang, teman-teman tidak ada dibelakang!” Katanya setelah mengarahkan matanya lagi ke belakang menembus kegelapan. Ia hanya melihat jalanan yang lengang yang tampak hanya hitam menutup batas pandang.
Kulihat arloji menunjukkan pukul 11.05 menit. Pantesan saja sepi pemakai jalan.
“ Apa mereka memutar balik ya, Kang!
Ipung menarik tubuh kekarnya dan bersandar di balkon jembatan. Dia  menghempaskan kekesalan.
 “Wah, aku tidak tahu itu.
“Terus bagaimana ini, Kang?”
“Kita tunggu saja di sini.”
“Kalau mereka tidak lewat sini?”
“Kita lihat saja nanti.”
Sebelum berangkat tadi, Ipung sempat bersitegang dengan Rizal. Ipung ngotot pergi ke makam Sang Prabu Angling Darma. Sedang Rizal ngotot minta pergi ke Muria ke makam Kanjeng Sunan Muria. Sementara aku dan teman-teman yang lain makmum saja. Kemanapun pergi, ngikut.  Yang penting ada acara untuk mengisi malam Suro ini.
Memang tadi, aku, Dul, dan Paul agak condong mendukung Ipung malam satu Suro ini pergi ke Makam Prabu Angling Darma, Sukolilo, raja sakti mandraguna yang ceritanya sudah melegenda di bumi Nusantara ini. Aku mendukung Ipung memilih ke makam Angling Darma karena malam satu Muharom tahun ini bertepatan hari Pasaran Haul Sang Prabu. Pulangnnya mampir ke makam wali yang fenomenal di Bumi Mina Tani ini, yakni makam Syeh Jangkung, Kayen.
Aku tidak mendukung Rizal karena pada tanggal 10 Suro nanti, kami pergi ke Gunung Muria untuk berziarah ke Makam Kanjeng Sunan Muria. Tanggaal 10 Sura adalah haul Kanjeng Sunan Muria. Sementara Rizal dan Kamituwo  ngotot mengajak melekan  malam satu Suronan di Gunung Muria dengan alasan Muria tempatnya asri, sepi, dan sangat bagus untuk meditasi. Tentunya wangsit-wangsit akan mudah turun Suro ini. Kata mereka, kalau malam ini pergi ke Muria, tanggal 10 Suro berangkat lagi ke sana bisa, tidak berangkat juga tidak apa-apa.
Untuk menjungjung sikap keadilan dan demokrasi maka di undi. Ternyata yang keluar Prabu Angkling Darma. Akhirnya kita sepakat pergi ke Sukolilo.
“ Kang, rokoknya masih?”
Kelihatannya mulut Ipung sudah mulai kecut. Maklumlah dia perokok berat. Kalau malam sedang jagongan mulutnya harus selalu diganjal dengan puntung rokok. Mulutnya harus selalu mengepulkan asap.
“Masih!” jawabku.
Karena seingatku tadi masih ada beberapa. Kugerayangi saku jaketku mencari rokok itu. Kukeluarkan benda berbentuk kotak. Kubuka tutupnya ternyata masih ada enam puntung yang  bersarang di dalamnya. Lalu, kuberikan kepada Ipungn terlebih  dulu kusulut satu batang untuk mengusir hawa dingin yang mulai menggeliat-geliat di tubuhku.
Kudongakkan kepalaku ke atas. Bintang-bintang yang berkelip di langit berangsur-angsur hilang. Rupanya  malam ini akan turun hujan. Dul, Mono, Joko, dan Paul belum juga nongol. Kemana mereka? Kalau tidak salah, mereka tidak ada dibelakang kami ketika keluar dari Kota Pati. Tepatnya setelah melewati Penthol Blaru. 
 “ Pung, kita berteduh di depan toko itu!”
“Toko yang mana, Kang?”
“Itu..!”
Aku  menunjuk sebuah toko yang bercat kuning muda. Kelihatannya serambi toko itu nyaman untuk berteduh. Ipung tanpa menawar. Ia mendorong Si Biru ke depan toko yang aku maksud. Karena jaraknya hanya beberapa meteran, Ipung tidak menghidupkan si biru.
Sudah habis dua puntung sigaret yang kami nikmati. Teman-teman  belum juga lewat. Ipung marah-marah dari tadi. Dia ingin cepat sampai di Makam Prabu Angling Darma di Dusun Mlawat, Sukolilo.
“ Kang, bagaimana ini? Kita menunggu di sini atau langsung ke Mlawat, menunggu mereka di sana?
“Sebaiknya kita tunggu mereka di sini. Karena kita berangkat dari rumah sama-sama. Nyampai tujuan pun kita harus sama-sama. Itu namanya teman setia. Ya, kita tunggu lima belasan menit, lagi. Kalau memang belum sampai sini, kita tunggu di Makam Sang Prabu Angling Darma saja.”
Yo wis nak ngono, Kang!”
Aku dan Ipung kembali duduk di emperan toko. Kembali menunggu teman-teman dengan menikmati rokok yang tersisa dan bicara ngalor ngidul yang tidak ada pangkal ujungnya. Lima belas menit telah berlalu tidak terasa.
“Kang, mereka tidak liwat juga. Apa mereka putar balik ya, Kang!”
“Putar balik, gimana?”
“Ya, mereka kembali pulang atau bisa juga mereka pergi  ke Muria!”
“Tidak mungkin, ah!”
“Mungkin saja lo Kang!”
“Jangan berpikiran yang enggak-enggak. Mungkin motor gundalanya Dul mogok. Karena pada saat berangkat tadi kan mogok a. Atau ada teman kita yang bannya bocor. Malam-malam gini kan tidak ada tambal ban.”
“La, terus…kita bagaimana?”
“Ya, dah begini saja. Kita tunggu mereka di Makam Sang Prabu. Yuk, kita tunggu di Mlawat saja!”
“Ya, begitu kan lebih baik. Kita di sana bisa tidur-tiduran dulu. Lagian, di sini banyak nyamuk. Yuk, kita berangkat Kang!”
Aku naik ke punggung si biru. Sementara Ipung masih menikmati asap terakhir rokoknya.
 “Tidak mau…! Aku tidak mau! Aku mau pulang! Aku mau pulang…!”
Tiba-tiba ada teriakan yang memecah kesunyian malam. Aku tersentak kaget. Ipung kelihatannya juga begitu.
“Ada apa, Pung?” tanyaku
“Entahlah, Kang! Kedengarannya suara perempuan yang  berteriak tadi!”
“Darimana tadi arah suara itu?”
“Tidak paham aku, Kang! Kedengarannya dari arah sana!” kata Ipung dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah utara.
“Siapa ya, orang berteriak malam-malam begini?”
Baru  saja, aku dan Ipung akan bersiap cabut dari emperan toko. Namun, kami dibuat penasaran akan teriakan tadi. Lalu, kami turun dari punggung si biru, memasang telinga mencari sumber suara orang yang berteriak keras tadi. Kami memeriksa sekeliling.
“Tidak mau…! Aku mau pulang…!”
Suara itu terdengar lagi memecah sunyinya malam. Suaranya semakin dekat dengan posisi kami. Aku juga mendengar suara-suara tidak jelas mengikuti teriakan tadi.  Suara-suara itu semakin mendekat. Tampak 5 bayangan bersamaan suara-suara tadi. Betul juga, ada lima orang yang berjalan kaki menembus gelapnya malam. Jalan kelima orang itu sempoyongan. Mungkin mereka lagi mabuk. Diantara kelima orang itu, ada dua orang perempuan. Tiga laki-laki yang bersama dua perempuan itu badannya besar- besar dan sangar-sangar.
“Aku minta diantar pulang!” Teriak seorang perempuan yang parasnya cantik dan badannya tinggi.
Kelihatanya gadis itu yang berteriak tadi. Mengapa dia berteriak-teriak? Siapa sebenarnya mereka?
“Kita hanya sebentar. Nanti aku antar pulang,” kata salah seorang laki-laki yang bertubuh tambun.
“Hanya sebentar saja. Nanti aku yang ngantar kamu pulang…!” rajuk laki-laki yang lain.
“Tidak mau! Aku kepingin pulang….! Antarkan aku pulang...!”teriak perempuan cantik.
“Sebentar saja, nanti kamu aku antar pulang...!”kata lelaki tambun lagi.
“Iya Win…! sebentar saja kok, Margorejo kan dekat!” tambah laki-laki yang lainnya.
“Ya, Win sebentar saja kok, tidak lama!”kata perempuan satunya kepada perempuan cantik itu.
Aku dan ipung memperhatikan tingkah laku mereka. tak sedetikpun aku lepaskan. Dadaku jadi berdebar.
“Kang, mereka pasti barusan pesta miras. Lihat  saja mereka jalan sempoyongan!” bisik Ipung “Kelihatannya gadis cantik yang berbadan tinggi itu tadi yang berteriak. Lihat saja sikapnya. Gadis itu selalu menolak jika dipegang temannya laki-laki.”
‘Iya, Pung! Agaknya memang begitu, mereka pada mabuk! Aku juga setuju dengan pendapatmu kalau yang berteriak tadi perempuan yang berambut panjang itu.”
“Terus bagaimana, Kang? Apakah kita pergi saja dari sini cari tempat yang lain?”
“Tidak usah, ah kita di sini saja! Aku penasar aksi mereka. Kita di sini saja lihat perkembangannya. Asalkan tidak ganggu mereka insyallah tidak terjadi apa-apa. Kita pura-pura tidak mendengar saja. ”
“Iya, Kang! Aku juga penasaran apa sebenarnya yang terjadi pada mereka. Mengapa cewek cantik itu meronta-ronta. Siapa mereka ya, Kang? Ada masalah apa ya? Kalau mereka yang cari gara-gara dengan kita, bagaimana?”
“Entahlah…, aku tidak tahu siapa mereka. Kalau mereka cari gara-gara dengan kita kita lihat saja nanti!”
“Baiklah Kang, kalau begitu! Hatiku deg-degan, Kang!”
“Aku juga, Pung!”
Ada salah seorang diantara mereka yang tidak ingin aksinya kami perhatikan. Pandangannya mengarah tajam kepada kami. Aku dan Ipung pura-pura tidak tau dan pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka. Tetapi, kuping kami, kami pasang untuk mendengarkan pembicaraan. Hatiku  mengatakan bahwa ada ketidakberesan. Pastilah mereka bukan orang baik-baik. Kalau mereka orang baik-baik, pastilah tidak mau mabuk. Lebih-lebih anak perempuan mabuk bareng laki-laki.
Darahku mendesir keras ketika perempuan yang agak tinggi dan berparas cantik berjalan mendekati kami. Dia memperhatikan penampilanku dari bawah sampai atas. Dia memperhatikan sarung dan kopiyahku. Dia agak lama menatap mataku. Aku tidak membalas tatapan gadis itu. Aku pura-pura tidak tahu kalau dia memerhatikan aku. Mungkin dia tertarik padaku. Aku tetap diam. Ipung juga begitu.
“Mas, bisa to…long aku?” kata perempuan cantik itu.
Kata-katanya terpatah-patah mungkin karena menahan keseimbangan badannya agar tidak jatuh.
“Tolong apa Mbak?” kataku.
 “An..tarkan a...ku pulang, Mas…! “
“Kemana?”
“Pati!”
Aku tidak segera menjawab. Aku menatap mata gadis itu lalu pandanganku kulemparkan  pada ketiga laki-laki temannya.  Pandanganku kembali lagi ke wajahnya.  
“Jangan, ta…kut mas.., tidak…  a..pa-apa! Kalau dia macem-macem aku yang tanggung,” katanya mendahului sebelum aku menjawab kata-katanya. Seakan-akan dia menyelami batinku sehingga mencoba meyakinkan aku.
 “Win, ayo lah! Sebentar saja, nanti pulangnya aku antar…!” kata salah satu dari ketiga laki-laki itu ketika menyusul gadis cantik yang mendekati aku.
Kedua lelaki dan perempuan satunya lagi ikutan meyusul menghampiri kami. Dari pandangan mata mereka menunjukkan kebencian kepada aku dan ipung. seakan-akan aku sebagai pengganggu aksi mereka.
 “Iya Win, ayolah…! Sebentar saja kok! . Ya, paling 2 jam kan? Nanti kita antar pulang,”kata lelaki yang bertubuh agak gempal.
“Tidak! Aku tidak mau! Udah, kalian pergi…! Aku mau  pulang…!!!”
“Ayolah, Win…! Sebentar saja, kok!” Rajuk lelaki gendut.
 “Aku bilang, tidak mau..!
“Kan, cuma sebentar, Win..!” rayu lelaki yang bertubuh gendut itu lagi.
“Tidak mau, ya tidak mau..!” Kelihatannya gadis cantik ini betul-betul marah. “Heh, kamu! Kamu mau ditampar pipimu? Atau, mulutmu tak jojohi watu! Perjanjian kita bagaimana, hah…?!!! Aku mau kalau hanya minum, saja! Kalau yang lain aku tidak mau! Kamu paham, kan?!”
Ketiga lelaki itu diam. Muka mereka memerah. Namun, ketiga lelaki itu tidak meluapkan kemarahan. Kemarahannya mencoba diredam. Mungkin, ingin mendapat simpati dari gadis itu.
“Sudah…, kalian pergi saja! Aku mau diantar Mas-Mas ini…!”
Ketiga lelaki itu memandang wajahku. Tetapi, aku pura-pura tidak tau. Dengan santainya aku kepulkan asap rokok dari mulutku. Sementara, pandanganku tertuju pada jalanan yang sepi. Aku sudah berencana dengan Ipung kalau mereka macam-macam, kami sudah siap melayani ketiga lelaki itu.
“Kalau kamu berani mengantarkan Windi pulang, aku hajar kamu! Kamu jangan ikut campur urusan kami!”ancam lelaki yang bertubuh tinggi besar kepada aku dan Ipung.
Agaknya gadis yang akan minta jasa pertolonganku itu tau kalau salah satu dari ketiga lelaki temannya itu mengancam aku. Langsung saja dia marah.
“He, kamu!” Kalau kamu berani ngapa-ngapain Mas ini, kamu berurusan dengan aku. Aku tidak akan pernah maafin kamu!”
Aneh, lelaki bertubuh tinggi besar itu diam saja dibentak cewek cantik ini. Siapa sebenarnya gadis ini?
“Sudah kalian pergi! Aku mau pulang!”
Sebelum mereka pergi, laki-laki bertubuh gempal dan gendut mendekatiku. Aku berusaha tenang. Aku bersikap seperti tidak punya takut walau ada sedikit gemetar tubuh ini.  Maklumlah, aku tidak pernah punya pengalaman berkelahi. Meskipun aku rajin berlatih tenaga dalam Nur Ilahi. Aku dan Ipung selalu bersiap diri jika ada kemungkinan terjadi. Ternyata, mereka hanya memutari kami berdua. Mereka memandangi kami dari bawah sampai atas peci. Aku tidak tahu apa maksud mereka. Apa mereka hanya menakuti saja atau menunggu reaksi kami.
“Heh, kalian pergi saja. Aku mau pulang!” bentak gadis cantikitu kepada ketiga laki-laki.
“Aku antar pulang ya..?” Kata laki-laki gendut.
“Tidak..!!! Aku, tidak mau diantar kamu!”
Mereka saling pandang. Selang beberapa lama mereka pergi. Cewek yang satu juga ikut pergi bersama tiga pria itu. Mereka berjalan kaki ke arah timur. Tubuh mereka  hilang ditelan gelapnya malam.
“Pung..!”
“Ya, kang!”
“Kamu saja, yang nganter gadis ini!”
“Kamu sajalah, Kang!”
“Kamu saja, aku yang nunggu temen-temen di sini!”
“Kalau mereka tidak lewat sini?”
“Kamu kan nanti kembali lagi!”
“Kamu, saja Kang ah, biar aku yang di sini.”
“Udah.., kamu saja yang mengantarkan gadis ini!”
“Sebetulnya aku senang nganter gadis ini pulang. Soalnya gadis ini cantik.  Tapi aku takut, Kang..?”
“Takut apa? Gadis cantik kok ditakuti. Gadis cantik kayak dia baiknya tu dikasihsayangi.”
“Bukan begitu maksudku, Kang..!”
“Lalu, apa?’
“Maksudku…..” Ipung menghentikan pembicaraannya. Matanya melirik gadis cantik itu berpegangan tiang listrik untuk menahan keseimbangan tubuhnya.”Iya, kalau gadis ini gadis beneran, kalau tidak!?”
“Pung! Aku makin tidak ngerti maksud kamu! Kamu bicara to the point saja.”
“Gini lo kang…!Ini kan malam satu Suro. Malam satu Suro mengandung mistis. Banyak makhluk halus yang keluar….!”
“La, terus…!”aku memotong pembicaraan Ipung
“Kalau gadis ini makhluk jadi-jadian, gimana ?”
“Ah, kamu ini ada-ada saja!”
 “Bisa juga lo, Kang! Pada saat gadis ini aku boncengin, terus jadi kuntilanak. Hi..hi..hi..aku minta darahmu….. Hihihi…aku cekik kamu... Aku kan, bisa matek, Kang!
“Kamu ini ngomong apa? Jangan ngawur ah..! mosok gadis secantik dia kuntilanak. Ah, jangan ngacok!”
Tiba-tiba tubuhku merinding. Bulu-bulu kulitku berdiri. Aku mencoba mencari sumber energi negatif yang mendekatiku. Aku tatap gadis itu, tetapi aku tidak merasakan apa-apa. Kemudian pandanganku kuarahkan ke jembatan. Ternyata di jembatan, ada perempuan berbaju putih dan berambut panjang berdiri menatap kami.
“Sialan Ipung, bicara yang enggak-enggak, jadinya ada kuntilanak yang mendekat. Namun, aku tidak memberitahu pada Ipung kalau mataku menangkap kuntilanak di jembatan.”
“Dah, gini aja Pung! Aku atau kamu yang mengantar.”
“Baiklah Kang. Aku yang mengantar dia, aku takut di sini. Karena tiba-tiba bulu kudukku berdiri.”
“Nah, begitu kan bagus.”
Yo wis. Dongakno ae biar aku selamat.”
Yo, mugo-mugo kuwe selamet, donyo akherat!!!”
“Jangan ditambahi akhirat, Kang! Aku kan belum siap untuk mati.”
“Ya, semoga. Selamet…!
“Nah, gitu kan lebih afdhol!
“Nama Mbak siapa?” tanya Ipung
Gadis itu diam. Dia pura-pura tidak mendengar pertanyaan Ipung. Kemudian, aku ulangi pertanyaan Ipung tadi.
“Mbak namanya siapa?
“Windi..!” jawabnya pelan.
“Rumah kamu mana?”
“Pati.”
“Patinya mana?”
“Panjunan.”
“O, Panjunan...! Baik Mbak, biar temanku ini yang mengantar!”
Kemudian gadis yang bernama Windi, aku suruh naik ke motor. Windi naik tertatih-tatih. Tubuhnya masih sempoyongan. Kedua tangannya, aku rangkulkan di pinggang Ipung. Ipung menatap aku dengan melempar senyum. Ingin menunjukkan kepadaku kalau itu ide yang bagus.
“Aku berangkat, Kang!”
“Ya, hati-hati!”
Setelah beberapa meter motor jalan, Ipung berteriak memanggilku.
“Kang, bantu kesini…!!”
Aku berlari menuju Ipung beberapa meter dari tempatku. Ternyata gadis itu tergeletak di jalan. Dia jatuh. Mungkin tidak mampu menahan keseimbangan. Untung Ipung tidak menarik si biru dengan kencang.
“Wah…, piye iki Kang?”
“Ya, dah kita antar bersama-sama.”

Aku minta di depan memegang setang si biru. Karena aku rikuh ada dibelakang. Entahlah…rasanya tidak enak saja. Ipung yang aku suruh membayang di belakang agar gadis itu tidak jatuh..  

Post a Comment

 
Top