BERTEMU GADIS MABUK
“Pung!
Pung! Berhenti…!”
Aku
berteriak dengan menepuk-nepuk pundak Ipung. Menyuruhnya menghentikan langkah
si biru, motor kesukaanku.
“
Ada apa, Kang!”
“Hentikan
si biru!”
“Kenapa,
kang!”
“Teman-teman,
tidak ada di belakang kita!
“ Iya, Kang!”
Ipung
memperlambat kecepatan si biru. Persis di jembatan, si biru berhenti. Lalu dia
mengarahkan pandangannya ke belakang.
“Wah,
betul Kang, teman-teman tidak ada dibelakang!” Katanya setelah mengarahkan
matanya lagi ke belakang menembus kegelapan. Ia hanya melihat jalanan yang
lengang yang tampak hanya hitam menutup batas pandang.
Kulihat
arloji menunjukkan pukul 11.05 menit. Pantesan saja sepi pemakai jalan.
“
Apa mereka memutar balik ya, Kang!
Ipung
menarik tubuh kekarnya dan bersandar di balkon jembatan. Dia menghempaskan kekesalan.
“Wah, aku tidak tahu itu.
“Terus
bagaimana ini, Kang?”
“Kita
tunggu saja di sini.”
“Kalau
mereka tidak lewat sini?”
“Kita
lihat saja nanti.”
Sebelum
berangkat tadi, Ipung sempat bersitegang dengan Rizal. Ipung ngotot pergi ke makam
Sang Prabu Angling Darma. Sedang Rizal ngotot minta pergi ke Muria ke makam
Kanjeng Sunan Muria. Sementara aku dan teman-teman yang lain makmum saja.
Kemanapun pergi, ngikut. Yang penting
ada acara untuk mengisi malam Suro ini.
Memang
tadi, aku, Dul, dan Paul agak condong mendukung Ipung malam satu Suro ini pergi
ke Makam Prabu Angling Darma, Sukolilo, raja sakti mandraguna yang ceritanya
sudah melegenda di bumi Nusantara ini. Aku mendukung Ipung memilih ke makam
Angling Darma karena malam satu Muharom tahun ini bertepatan hari Pasaran Haul
Sang Prabu. Pulangnnya mampir ke makam wali yang fenomenal di Bumi Mina Tani
ini, yakni makam Syeh Jangkung, Kayen.
Aku
tidak mendukung Rizal karena pada tanggal 10 Suro nanti, kami pergi ke Gunung
Muria untuk berziarah ke Makam Kanjeng Sunan Muria. Tanggaal 10 Sura adalah
haul Kanjeng Sunan Muria. Sementara Rizal dan Kamituwo ngotot mengajak melekan malam satu Suronan
di Gunung Muria dengan alasan Muria tempatnya asri, sepi, dan sangat bagus
untuk meditasi. Tentunya wangsit-wangsit akan mudah turun Suro ini. Kata
mereka, kalau malam ini pergi ke Muria, tanggal 10 Suro berangkat lagi ke sana
bisa, tidak berangkat juga tidak apa-apa.
Untuk
menjungjung sikap keadilan dan demokrasi maka di undi. Ternyata yang keluar Prabu
Angkling Darma. Akhirnya kita sepakat pergi ke Sukolilo.
“
Kang, rokoknya masih?”
Kelihatannya
mulut Ipung sudah mulai kecut. Maklumlah dia perokok berat. Kalau malam sedang jagongan mulutnya harus selalu diganjal
dengan puntung rokok. Mulutnya harus selalu mengepulkan asap.
“Masih!”
jawabku.
Karena
seingatku tadi masih ada beberapa. Kugerayangi saku jaketku mencari rokok itu. Kukeluarkan
benda berbentuk kotak. Kubuka tutupnya ternyata masih ada enam puntung
yang bersarang di dalamnya. Lalu, kuberikan
kepada Ipungn terlebih dulu kusulut satu
batang untuk mengusir hawa dingin yang mulai menggeliat-geliat di tubuhku.
Kudongakkan
kepalaku ke atas. Bintang-bintang yang berkelip di langit berangsur-angsur
hilang. Rupanya malam ini akan turun
hujan. Dul, Mono, Joko, dan Paul belum juga nongol. Kemana mereka? Kalau tidak
salah, mereka tidak ada dibelakang kami ketika keluar dari Kota Pati. Tepatnya
setelah melewati Penthol Blaru.
“ Pung, kita berteduh di depan toko itu!”
“Toko
yang mana, Kang?”
“Itu..!”
Aku
menunjuk sebuah toko yang bercat kuning
muda. Kelihatannya serambi toko itu nyaman untuk berteduh. Ipung tanpa menawar.
Ia mendorong Si Biru ke depan toko yang aku maksud. Karena jaraknya hanya
beberapa meteran, Ipung tidak menghidupkan si biru.
Sudah
habis dua puntung sigaret yang kami nikmati. Teman-teman belum juga lewat. Ipung marah-marah dari
tadi. Dia ingin cepat sampai di Makam Prabu Angling Darma di Dusun Mlawat,
Sukolilo.
“
Kang, bagaimana ini? Kita menunggu di sini atau langsung ke Mlawat, menunggu
mereka di sana?
“Sebaiknya
kita tunggu mereka di sini. Karena kita berangkat dari rumah sama-sama. Nyampai
tujuan pun kita harus sama-sama. Itu namanya teman setia. Ya, kita tunggu lima
belasan menit, lagi. Kalau memang belum sampai sini, kita tunggu di Makam Sang
Prabu Angling Darma saja.”
“Yo wis nak ngono, Kang!”
Aku
dan Ipung kembali duduk di emperan toko. Kembali menunggu teman-teman dengan menikmati
rokok yang tersisa dan bicara ngalor ngidul yang tidak ada pangkal ujungnya.
Lima belas menit telah berlalu tidak terasa.
“Kang,
mereka tidak liwat juga. Apa mereka putar balik ya, Kang!”
“Putar
balik, gimana?”
“Ya,
mereka kembali pulang atau bisa juga mereka pergi ke Muria!”
“Tidak
mungkin, ah!”
“Mungkin
saja lo Kang!”
“Jangan
berpikiran yang enggak-enggak. Mungkin motor gundalanya Dul mogok. Karena pada
saat berangkat tadi kan mogok a. Atau
ada teman kita yang bannya bocor. Malam-malam gini kan tidak ada tambal ban.”
“La,
terus…kita bagaimana?”
“Ya,
dah begini saja. Kita tunggu mereka di Makam Sang Prabu. Yuk, kita tunggu di
Mlawat saja!”
“Ya,
begitu kan lebih baik. Kita di sana bisa tidur-tiduran dulu. Lagian, di sini
banyak nyamuk. Yuk, kita berangkat Kang!”
Aku
naik ke punggung si biru. Sementara Ipung masih menikmati asap terakhir
rokoknya.
“Tidak mau…! Aku tidak mau! Aku mau pulang!
Aku mau pulang…!”
Tiba-tiba
ada teriakan yang memecah kesunyian malam. Aku tersentak kaget. Ipung
kelihatannya juga begitu.
“Ada
apa, Pung?” tanyaku
“Entahlah,
Kang! Kedengarannya suara perempuan yang berteriak tadi!”
“Darimana
tadi arah suara itu?”
“Tidak
paham aku, Kang! Kedengarannya dari arah sana!” kata Ipung dengan mengarahkan
jari telunjuknya ke arah utara.
“Siapa
ya, orang berteriak malam-malam begini?”
Baru saja, aku dan Ipung akan bersiap cabut dari
emperan toko. Namun, kami dibuat penasaran akan teriakan tadi. Lalu, kami turun
dari punggung si biru, memasang telinga mencari sumber suara orang yang
berteriak keras tadi. Kami memeriksa sekeliling.
“Tidak
mau…! Aku mau pulang…!”
Suara
itu terdengar lagi memecah sunyinya malam. Suaranya semakin dekat dengan posisi
kami. Aku juga mendengar suara-suara tidak jelas mengikuti teriakan tadi. Suara-suara itu semakin mendekat. Tampak 5
bayangan bersamaan suara-suara tadi. Betul juga, ada lima orang yang berjalan
kaki menembus gelapnya malam. Jalan kelima orang itu sempoyongan. Mungkin mereka
lagi mabuk. Diantara kelima orang itu, ada dua orang perempuan. Tiga laki-laki
yang bersama dua perempuan itu badannya besar- besar dan sangar-sangar.
“Aku
minta diantar pulang!” Teriak seorang perempuan yang parasnya cantik dan
badannya tinggi.
Kelihatanya
gadis itu yang berteriak tadi. Mengapa dia berteriak-teriak? Siapa sebenarnya
mereka?
“Kita
hanya sebentar. Nanti aku antar pulang,” kata salah seorang laki-laki yang
bertubuh tambun.
“Hanya
sebentar saja. Nanti aku yang ngantar kamu pulang…!” rajuk laki-laki yang lain.
“Tidak
mau! Aku kepingin pulang….! Antarkan aku pulang...!”teriak perempuan cantik.
“Sebentar
saja, nanti kamu aku antar pulang...!”kata lelaki tambun lagi.
“Iya
Win…! sebentar saja kok, Margorejo kan dekat!” tambah laki-laki yang lainnya.
“Ya,
Win sebentar saja kok, tidak lama!”kata perempuan satunya kepada perempuan
cantik itu.
Aku
dan ipung memperhatikan tingkah laku mereka. tak sedetikpun aku lepaskan.
Dadaku jadi berdebar.
“Kang,
mereka pasti barusan pesta miras. Lihat saja mereka jalan sempoyongan!” bisik Ipung “Kelihatannya
gadis cantik yang berbadan tinggi itu tadi yang berteriak. Lihat saja sikapnya.
Gadis itu selalu menolak jika dipegang temannya laki-laki.”
‘Iya,
Pung! Agaknya memang begitu, mereka pada mabuk! Aku juga setuju dengan
pendapatmu kalau yang berteriak tadi perempuan yang berambut panjang itu.”
“Terus
bagaimana, Kang? Apakah kita pergi saja dari sini cari tempat yang lain?”
“Tidak
usah, ah kita di sini saja! Aku penasar aksi mereka. Kita di sini saja lihat
perkembangannya. Asalkan tidak ganggu mereka insyallah tidak terjadi apa-apa.
Kita pura-pura tidak mendengar saja. ”
“Iya,
Kang! Aku juga penasaran apa sebenarnya yang terjadi pada mereka. Mengapa cewek
cantik itu meronta-ronta. Siapa mereka ya, Kang? Ada masalah apa ya? Kalau
mereka yang cari gara-gara dengan kita, bagaimana?”
“Entahlah…,
aku tidak tahu siapa mereka. Kalau mereka cari gara-gara dengan kita kita lihat
saja nanti!”
“Baiklah
Kang, kalau begitu! Hatiku deg-degan, Kang!”
“Aku
juga, Pung!”
Ada
salah seorang diantara mereka yang tidak ingin aksinya kami perhatikan.
Pandangannya mengarah tajam kepada kami. Aku dan Ipung pura-pura tidak tau dan
pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka. Tetapi, kuping kami, kami pasang
untuk mendengarkan pembicaraan. Hatiku mengatakan bahwa ada ketidakberesan. Pastilah
mereka bukan orang baik-baik. Kalau mereka orang baik-baik, pastilah tidak mau
mabuk. Lebih-lebih anak perempuan mabuk bareng laki-laki.
Darahku
mendesir keras ketika perempuan yang agak tinggi dan berparas cantik berjalan
mendekati kami. Dia memperhatikan penampilanku dari bawah sampai atas. Dia
memperhatikan sarung dan kopiyahku. Dia agak lama menatap mataku. Aku tidak
membalas tatapan gadis itu. Aku pura-pura tidak tahu kalau dia memerhatikan
aku. Mungkin dia tertarik padaku. Aku tetap diam. Ipung juga begitu.
“Mas,
bisa to…long aku?” kata perempuan cantik itu.
Kata-katanya
terpatah-patah mungkin karena menahan keseimbangan badannya agar tidak jatuh.
“Tolong
apa Mbak?” kataku.
“An..tarkan a...ku pulang, Mas…! “
“Kemana?”
“Pati!”
Aku
tidak segera menjawab. Aku menatap mata gadis itu lalu pandanganku kulemparkan pada ketiga laki-laki temannya. Pandanganku kembali lagi ke wajahnya.
“Jangan,
ta…kut mas.., tidak… a..pa-apa! Kalau
dia macem-macem aku yang tanggung,” katanya mendahului sebelum aku menjawab
kata-katanya. Seakan-akan dia menyelami batinku sehingga mencoba meyakinkan
aku.
“Win, ayo lah! Sebentar saja, nanti pulangnya
aku antar…!” kata salah satu dari ketiga laki-laki itu ketika menyusul gadis cantik yang mendekati
aku.
Kedua
lelaki dan perempuan satunya lagi ikutan meyusul menghampiri kami. Dari
pandangan mata mereka menunjukkan kebencian kepada aku dan ipung. seakan-akan
aku sebagai pengganggu aksi mereka.
“Iya Win, ayolah…! Sebentar saja kok! . Ya,
paling 2 jam kan? Nanti kita antar pulang,”kata lelaki yang bertubuh agak
gempal.
“Ayolah,
Win…! Sebentar saja, kok!” Rajuk lelaki gendut.
“Aku bilang, tidak mau..!
“Kan,
cuma sebentar, Win..!” rayu lelaki yang bertubuh gendut itu lagi.
“Tidak
mau, ya tidak mau..!” Kelihatannya gadis cantik ini betul-betul marah. “Heh,
kamu! Kamu mau ditampar pipimu? Atau, mulutmu tak jojohi watu! Perjanjian kita bagaimana, hah…?!!! Aku mau kalau
hanya minum, saja! Kalau yang lain aku tidak mau! Kamu paham, kan?!”
Ketiga
lelaki itu diam. Muka mereka memerah. Namun, ketiga lelaki itu tidak meluapkan
kemarahan. Kemarahannya mencoba diredam. Mungkin, ingin mendapat simpati dari
gadis itu.
“Sudah…,
kalian pergi saja! Aku mau diantar Mas-Mas ini…!”
Ketiga
lelaki itu memandang wajahku. Tetapi, aku pura-pura tidak tau. Dengan santainya
aku kepulkan asap rokok dari mulutku. Sementara, pandanganku tertuju pada
jalanan yang sepi. Aku sudah berencana dengan Ipung kalau mereka macam-macam,
kami sudah siap melayani ketiga lelaki itu.
“Kalau
kamu berani mengantarkan Windi pulang, aku hajar kamu! Kamu jangan ikut campur
urusan kami!”ancam lelaki yang bertubuh tinggi besar kepada aku dan Ipung.
Agaknya
gadis yang akan minta jasa pertolonganku itu tau kalau salah satu dari ketiga lelaki
temannya itu mengancam aku. Langsung saja dia marah.
“He,
kamu!” Kalau kamu berani ngapa-ngapain Mas ini, kamu berurusan dengan aku. Aku
tidak akan pernah maafin kamu!”
Aneh,
lelaki bertubuh tinggi besar itu diam saja dibentak cewek cantik ini. Siapa
sebenarnya gadis ini?
“Sudah
kalian pergi! Aku mau pulang!”
Sebelum
mereka pergi, laki-laki bertubuh gempal dan gendut mendekatiku. Aku berusaha
tenang. Aku bersikap seperti tidak punya takut walau ada sedikit gemetar tubuh
ini. Maklumlah, aku tidak pernah punya
pengalaman berkelahi. Meskipun aku rajin berlatih tenaga dalam Nur Ilahi. Aku dan
Ipung selalu bersiap diri jika ada kemungkinan terjadi. Ternyata, mereka hanya
memutari kami berdua. Mereka memandangi kami dari bawah sampai atas peci. Aku
tidak tahu apa maksud mereka. Apa mereka hanya menakuti saja atau menunggu
reaksi kami.
“Heh,
kalian pergi saja. Aku mau pulang!” bentak gadis cantikitu kepada ketiga
laki-laki.
“Aku
antar pulang ya..?” Kata laki-laki gendut.
“Tidak..!!!
Aku, tidak mau diantar kamu!”
Mereka
saling pandang. Selang beberapa lama mereka pergi. Cewek yang satu juga ikut
pergi bersama tiga pria itu. Mereka berjalan kaki ke arah timur. Tubuh mereka hilang ditelan gelapnya malam.
“Pung..!”
“Ya,
kang!”
“Kamu
saja, yang nganter gadis ini!”
“Kamu
sajalah, Kang!”
“Kamu
saja, aku yang nunggu temen-temen di sini!”
“Kalau
mereka tidak lewat sini?”
“Kamu
kan nanti kembali lagi!”
“Kamu,
saja Kang ah, biar aku yang di sini.”
“Udah..,
kamu saja yang mengantarkan gadis ini!”
“Sebetulnya
aku senang nganter gadis ini pulang. Soalnya gadis ini cantik. Tapi aku takut, Kang..?”
“Takut
apa? Gadis cantik kok ditakuti. Gadis cantik kayak dia baiknya tu
dikasihsayangi.”
“Bukan
begitu maksudku, Kang..!”
“Lalu,
apa?’
“Maksudku…..”
Ipung menghentikan pembicaraannya. Matanya melirik gadis cantik itu berpegangan
tiang listrik untuk menahan keseimbangan tubuhnya.”Iya, kalau gadis ini gadis
beneran, kalau tidak!?”
“Pung!
Aku makin tidak ngerti maksud kamu! Kamu bicara to the point saja.”
“Gini
lo kang…!Ini kan malam satu Suro. Malam satu Suro mengandung mistis. Banyak
makhluk halus yang keluar….!”
“La,
terus…!”aku memotong pembicaraan Ipung
“Kalau
gadis ini makhluk jadi-jadian, gimana ?”
“Ah,
kamu ini ada-ada saja!”
“Bisa juga lo, Kang! Pada saat gadis ini aku boncengin,
terus jadi kuntilanak. Hi..hi..hi..aku minta darahmu….. Hihihi…aku cekik kamu...
Aku kan, bisa matek, Kang!
“Kamu
ini ngomong apa? Jangan ngawur ah..! mosok gadis secantik dia kuntilanak. Ah,
jangan ngacok!”
Tiba-tiba
tubuhku merinding. Bulu-bulu kulitku berdiri. Aku mencoba mencari sumber energi
negatif yang mendekatiku. Aku tatap gadis itu, tetapi aku tidak merasakan
apa-apa. Kemudian pandanganku kuarahkan ke jembatan. Ternyata di jembatan, ada
perempuan berbaju putih dan berambut panjang berdiri menatap kami.
“Sialan
Ipung, bicara yang enggak-enggak, jadinya ada kuntilanak yang mendekat. Namun,
aku tidak memberitahu pada Ipung kalau mataku menangkap kuntilanak di jembatan.”
“Dah,
gini aja Pung! Aku atau kamu yang mengantar.”
“Baiklah
Kang. Aku yang mengantar dia, aku takut di sini. Karena tiba-tiba bulu kudukku
berdiri.”
“Nah,
begitu kan bagus.”
“Yo wis. Dongakno ae biar aku selamat.”
“Yo, mugo-mugo kuwe selamet, donyo
akherat!!!”
“Jangan
ditambahi akhirat, Kang! Aku kan belum siap untuk mati.”
“Ya,
semoga. Selamet…!
“Nah,
gitu kan lebih afdhol!
“Nama
Mbak siapa?” tanya Ipung
Gadis
itu diam. Dia pura-pura tidak mendengar pertanyaan Ipung. Kemudian, aku ulangi
pertanyaan Ipung tadi.
“Mbak
namanya siapa?
“Windi..!”
jawabnya pelan.
“Rumah
kamu mana?”
“Pati.”
“Patinya
mana?”
“Panjunan.”
“O,
Panjunan...! Baik Mbak, biar temanku ini yang mengantar!”
Kemudian
gadis yang bernama Windi, aku suruh naik ke motor. Windi naik tertatih-tatih. Tubuhnya
masih sempoyongan. Kedua tangannya, aku rangkulkan di pinggang Ipung. Ipung
menatap aku dengan melempar senyum. Ingin menunjukkan kepadaku kalau itu ide
yang bagus.
“Aku
berangkat, Kang!”
“Ya,
hati-hati!”
Setelah
beberapa meter motor jalan, Ipung berteriak memanggilku.
“Kang,
bantu kesini…!!”
Aku
berlari menuju Ipung beberapa meter dari tempatku. Ternyata gadis itu tergeletak
di jalan. Dia jatuh. Mungkin tidak mampu menahan keseimbangan. Untung Ipung
tidak menarik si biru dengan kencang.
“Wah…,
piye iki Kang?”
“Ya,
dah kita antar bersama-sama.”
Aku
minta di depan memegang setang si biru. Karena aku rikuh ada dibelakang.
Entahlah…rasanya tidak enak saja. Ipung yang aku suruh membayang di belakang
agar gadis itu tidak jatuh..
Post a Comment